JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) khawatir penerapan repatriasi yang bertujuan menghimpun potensi devisa negara yang selama ini banyak terparkir di luar negeri hanya akan menghilangkan peluang mendapat pinjaman dari bank asing."Bank yang beroperasi di luar negeri menjadi takut eksportir tidak bisa bayar pinjaman. Karena kebijakan repatriasi, ternyata uang hasil ekspor para eksportir disimpan di perbankan yang beroperasi di Indonesia tidak bisa keluar lagi," tutur Ketua Apindo Sofjan Wanandi, Rabu (14/9).Kekhawatiran itu bermula dari pola tradisional Apindo yang selalu menggunakan pinjaman dari bank asing untuk membiayai kegiatan ekspor. Kecenderungan untuk memilih bank asing itu lantaran tingkat suku bunga yang bisa dibilang jauh lebih murah ketimbang bunga yang ditawarkan bank nasional.Sebagai gambaran, pada setiap peminjaman dengan mata uang rupiah, Apindo dibebani suku bunga sebesar 12% per tahun, sedangkan untuk pinjaman berbasis dollar dikenai suku bunga sebesar 9%. Lain halnya dengan bank luar negeri, Apindo mendapatkan pinjaman dengan suku bunga sekitar 3%-5%.Selain itu, kebijakan repatriasi itu nantinya akan cukup menyulitkan pengusaha dalam melaporkan arus dana yang setara dengan transaksi ekspor. Lantaran, eksportir selama sudah memiliki hubungan transaksi perdagangan dengan importir yang baik, sehingga pengiriman produk tanpa harus menyertakan letter of credit (L/C). Oleh karena kedua hal mendasar itu maka Apindo meminta agar Bank Indonesia (BI) menjelaskan secara rinci peraturan pelaksana kebijakan repatriasi itu. Meski tujuan kebijakan itu sebagai jalur transparansi transaksi ekspor, Sofjan menilai, jangan sampai implementasi repatriasi itu mengganggu aktivitas dunia usaha yang sudah berjalan selama ini.Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menilai, BI harus menyosialisasikan dan mendiskusikan kebijakan itu pada setiap eksportir sehingga tidak sampai mengganggu kegiatan bisnis mereka. Apabila bank yang beroperasi di Indonesia bisa menampung devisa, tapi tetap memperhatikan skala bisnis, volume kebutuhan modal, dan tingkat perdagangan eksportir, sepertinya dunia usaha pun tidak akan keberatan. "Apalagi tujuannya bukan untuk saling rahasia, tapi kepercayaan," ujar Mahendra.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pengusaha khawatir implementasi repatriasi mengganggu aktivitas ekspor
JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) khawatir penerapan repatriasi yang bertujuan menghimpun potensi devisa negara yang selama ini banyak terparkir di luar negeri hanya akan menghilangkan peluang mendapat pinjaman dari bank asing."Bank yang beroperasi di luar negeri menjadi takut eksportir tidak bisa bayar pinjaman. Karena kebijakan repatriasi, ternyata uang hasil ekspor para eksportir disimpan di perbankan yang beroperasi di Indonesia tidak bisa keluar lagi," tutur Ketua Apindo Sofjan Wanandi, Rabu (14/9).Kekhawatiran itu bermula dari pola tradisional Apindo yang selalu menggunakan pinjaman dari bank asing untuk membiayai kegiatan ekspor. Kecenderungan untuk memilih bank asing itu lantaran tingkat suku bunga yang bisa dibilang jauh lebih murah ketimbang bunga yang ditawarkan bank nasional.Sebagai gambaran, pada setiap peminjaman dengan mata uang rupiah, Apindo dibebani suku bunga sebesar 12% per tahun, sedangkan untuk pinjaman berbasis dollar dikenai suku bunga sebesar 9%. Lain halnya dengan bank luar negeri, Apindo mendapatkan pinjaman dengan suku bunga sekitar 3%-5%.Selain itu, kebijakan repatriasi itu nantinya akan cukup menyulitkan pengusaha dalam melaporkan arus dana yang setara dengan transaksi ekspor. Lantaran, eksportir selama sudah memiliki hubungan transaksi perdagangan dengan importir yang baik, sehingga pengiriman produk tanpa harus menyertakan letter of credit (L/C). Oleh karena kedua hal mendasar itu maka Apindo meminta agar Bank Indonesia (BI) menjelaskan secara rinci peraturan pelaksana kebijakan repatriasi itu. Meski tujuan kebijakan itu sebagai jalur transparansi transaksi ekspor, Sofjan menilai, jangan sampai implementasi repatriasi itu mengganggu aktivitas dunia usaha yang sudah berjalan selama ini.Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menilai, BI harus menyosialisasikan dan mendiskusikan kebijakan itu pada setiap eksportir sehingga tidak sampai mengganggu kegiatan bisnis mereka. Apabila bank yang beroperasi di Indonesia bisa menampung devisa, tapi tetap memperhatikan skala bisnis, volume kebutuhan modal, dan tingkat perdagangan eksportir, sepertinya dunia usaha pun tidak akan keberatan. "Apalagi tujuannya bukan untuk saling rahasia, tapi kepercayaan," ujar Mahendra.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News