Pengusaha Konveksi Keluhkan Utilitas Mesin Tinggal 30%



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menghadapi tantangan berat di semester kedua tahun ini, di tengah persaingan ketat dengan produk TPT impor dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa persaingan yang tidak sehat dengan produk TPT impor telah menyebabkan penurunan utilitas mesin, terutama bagi para pengusaha konveksi di kawasan Bandung Raya. 

"Dari kami itu sudah stop produksi 70 persen, berarti tinggal 30 persen (mesin) yang aktif. Tapi itu saja yang tercatat di IPKB, dan tidak semua masuk ke kami, Jawa Barat kan besar, data kami khusus di Bandung Raya saja sementara Tasikmalaya sendiri, Garut sendiri, dan ini menyebar," ungkap Nandi saat dihubungi Kontan, Sabtu (17/08).


Rendahnya utilitas produksi ini, menurut Nandi, berdampak langsung pada pengurangan tenaga kerja. Ratusan ribu pekerja telah kehilangan pekerjaan akibat penurunan produksi ini. 

"Kalau kami ini bukan puluh ribuan lagi tapi ratus ribuan (yang di PHK). Yang tercatat dikami ada saja 8.000 (konveksi), kalau kita ambil sedikitnya 10 mesin (yang tidak produksi), dengan masing-masing 10-15 karyawan, itu sudah berapa ratus ribu (yang di PHK)," jelasnya.

Baca Juga: Menaker Buka Suara Terkait Jumlah PHK yang Mencapai 32 Ribu Orang di Semester I-2024

Melihat kondisi industri TPT yang semakin memburuk, Nandi kembali mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan Undang-Undang Sandang. 

"Terkait RUU Sandang, kami sudah mengajukan sejak 2023, dan tiga bulan lalu sudah ada kajian ke lapangan dan industri kami. Namun, hingga kini belum ada kabar lanjutan," kata Nandi.

Menurutnya, selain melindungi industri dalam negeri, UU Sandang juga dapat mempermudah administrasi di sektor TPT. 

"Sebenernya dari RUU Sandang ini menurut saya pribadi untuk melindungi TPT dalam negeri memang harus ada, jadi kita semua mengacunya pada UU. Yang saya rasakan kalau ada pengajuan dari IKM biasanya kami harus ke beberapa kementerian, kurang lebih 19 kementerian dan instansi. Mulai dari Beacukai, Kemenkeu, dan lain-lain," jelasnya.

Nandi juga menyampaikan bahwa dirinya telah mengajukan usulan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk membentuk badan khusus yang mengurusi produk TPT. 

Baca Juga: Industri Tekstil Terpuruk, API Ungkap Pentingnya Peran UU Sandang

"Saya di Baleg sudah mengusulkan adanya badan khusus untuk produk tekstil dan TPT, bahkan kalau bisa ada Kementerian khusus. Saat ini, kami yang ingin mengajukan dumping atau safeguard harus berurusan dengan banyak kementerian, sehingga ini menjadi beban bagi kami," tambahnya.

Pembahasan RUU Sandang ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2023. Baleg DPR bahkan telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah asosiasi di bidang tekstil seperti API, APINDO, dan IPKB. 

Namun, hingga memasuki semester kedua tahun ini, kelanjutan pembahasan RUU Sandang belum juga terlihat. 

"Sampai sekarang kami masih bingung. Tim perancang dari DPR sudah datang ke kami, tapi belum ada kabar lanjutan atau pemanggilan lagi," tutup Nandi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .