JAKARTA. Kalangan pelaku usaha disektor furnitur dan permebelan meminta pemerintah supaya kembali menunda penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang sejatinya berlaku pada awal tahun 2015 mendatang.Sunoto, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), mengatakan, saat ini ada lebih dari 4.000 UKM yang masih belum memiliki SVLK. "Belum banyak yang mengurus SVLK, padahal waktu tinggal lima bulan lagi," kata Sunoto, Selasa (15/7).Masih banyaknya pelaku UKM yang belum mengurus SVLK tersebut adalah lantaran tingginya biaya untuk mendapat sertifikasi. Setidaknya, untuk memperoleh sertifikasi tersebut pelaku usaha harus merogoh uang hingga Rp 25 juta-Rp 30 juta. Sunoto menghitung, bila pemerintah tidak mengambil langkah cepat dalam menyelesaikan persoalan tersebut maka akan menimbulkan kerugian. Pasalnya, berhentinya ekspor produk furnitur dan mebel akan berdampak terhadap nilai ekspor. Satu pelaku usaha kelas UKM sendiri rata-rata dapat melakukan ekspor hingga mencapai US$ 1 juta per tahun. Berdasarkan catatan AMKRI, total pelaku usaha disektor furnitur dan mebel yang berorientasi ekspor mencapai 5.000 UKM. Dalam dua tahun terakhir, jumlah pelaku usaha yang mendapat sertifikat SVLK hanya sekitar 800 UKM.Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal AMKRI, menambahkan, pihaknya dalam waktu dekat akan melayangkan surat kepada Kementerian Perdaganan (Kemendag) untuk menunda pelaksanaan SVLK tersebut setidaknya satu tahun. "Kalau tidak bisa kami meminta pemerintah untuk bailout," kata Sobur.Proses verifikasi SVLK sendiri dinilai terlalu lama. Sedikitnya lembaga verifikasi turut mengakibatkan sedikitnya kalangan UKM yang memiliki sertifikasi legalitas kayu. Saat ini jumlah lembaga verifikasi hanya sekitar 11 perusahaan. Padahal, melihat jumlah perusahaan yang bergerak disektor perkayuan tersebut idealnya lembaga verifikasi mencapai 20-30 perusahaan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pengusaha mebel minta penundaan SVLK
JAKARTA. Kalangan pelaku usaha disektor furnitur dan permebelan meminta pemerintah supaya kembali menunda penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang sejatinya berlaku pada awal tahun 2015 mendatang.Sunoto, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), mengatakan, saat ini ada lebih dari 4.000 UKM yang masih belum memiliki SVLK. "Belum banyak yang mengurus SVLK, padahal waktu tinggal lima bulan lagi," kata Sunoto, Selasa (15/7).Masih banyaknya pelaku UKM yang belum mengurus SVLK tersebut adalah lantaran tingginya biaya untuk mendapat sertifikasi. Setidaknya, untuk memperoleh sertifikasi tersebut pelaku usaha harus merogoh uang hingga Rp 25 juta-Rp 30 juta. Sunoto menghitung, bila pemerintah tidak mengambil langkah cepat dalam menyelesaikan persoalan tersebut maka akan menimbulkan kerugian. Pasalnya, berhentinya ekspor produk furnitur dan mebel akan berdampak terhadap nilai ekspor. Satu pelaku usaha kelas UKM sendiri rata-rata dapat melakukan ekspor hingga mencapai US$ 1 juta per tahun. Berdasarkan catatan AMKRI, total pelaku usaha disektor furnitur dan mebel yang berorientasi ekspor mencapai 5.000 UKM. Dalam dua tahun terakhir, jumlah pelaku usaha yang mendapat sertifikat SVLK hanya sekitar 800 UKM.Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal AMKRI, menambahkan, pihaknya dalam waktu dekat akan melayangkan surat kepada Kementerian Perdaganan (Kemendag) untuk menunda pelaksanaan SVLK tersebut setidaknya satu tahun. "Kalau tidak bisa kami meminta pemerintah untuk bailout," kata Sobur.Proses verifikasi SVLK sendiri dinilai terlalu lama. Sedikitnya lembaga verifikasi turut mengakibatkan sedikitnya kalangan UKM yang memiliki sertifikasi legalitas kayu. Saat ini jumlah lembaga verifikasi hanya sekitar 11 perusahaan. Padahal, melihat jumlah perusahaan yang bergerak disektor perkayuan tersebut idealnya lembaga verifikasi mencapai 20-30 perusahaan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News