Pengusaha Mengaku Dirugikan dengan Revisi Permen ESDM PLTS Atap



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pelaku usaha di sektor pembangkit surya atap mengakui revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap tidak menjadi angin segar bagi pengembangan energi surya di dalam negeri. Kebijakan ini dinilai akan menurunkan minat publik dan merugikan pengusaha. 

Dalam revisi Permen ESDM PLTS Atap ada beberapa substansi yang diubah. 

Pertama, kapasitas PLTS Atap yang sebelumnya dibatasi 100% daya langganan, ke depannya tidak diberikan batasan sepanjang mengikuti kuota pengembangan PLTS Atap. Kuota ini akan disusun oleh Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) dan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.


Baca Juga: PLN Gelontorkan US$ 700 Miliar untuk Transisi Energi, Terbesar Bagi Pembangkit

Kedua, nilai kelebihan energi listrik dari sistem PLTS Atap Pelanggan ke Jaringan Pemegang IUPTLU ke depannya tidak diperhitungkan. Ketiga, permohonan menjadi Pelanggan PLTS Atap ke depannya dilakukan pada periode yang lebih teratur yaitu bulan Januari dan Juli.

Keempat, biaya kapasitas (capacity charge) yang sebelumnya dikenakan kepada pelanggan industri, ke depannya tidak akan dikenakan kepada seluruh kategori pelanggan. Kelima, kepada Pelanggan PLTS Atap eksisting masih tetap diberlakukan ketentuan peraturan sebelumnya dengan jangka waktu selama s.d. 10 tahun sejak PLTS Atap beroperasi. 

VP of Marketing Xurya Daya Indonesia, George Hadi Santoso menyatakan, adanya revisi Permen ESDM untuk PLTS Atap ini memberatkan dan menghambat proses transisi energi di Indonesia. 

“Seluruh poin yang direvisi terlihat bersifat subjektif dan bertentangan dengan tujuan transisi energi. Permen ESDM cenderung memberikan porsi besar kepada PLN dalam mengusulkan kuota PLTS Atap on grid yang belum jelas prosedurnya, hal ini jelas merugikan para pelaku bisnis PLTS Atap yang ada saat ini,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (26/5). 

George melihat, jika benar-benar kebijakan ini disahkan, peraturan ini justru dapat menurunkan minat publik untuk menggunakan PLTS Atap mengingat nilai keekonomian juga ikut terpangkas dan prosedur perizinan serta registrasi pun ikut dibatasi.

Menurutnya, jika pemerintah serius ingin mengejar target 3,6 GW pada tahun 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23%, regulasi mengenai PLTS Atap ini harus bersifat netral dan suportif. 

Baca Juga: PLN Sebut Pensiun Dini PLTU Tergantung Dukungan Pendanaan Internasional

Senada, Chief Commercial Officer (CCO) SUN Energy, Dionpius Jefferson menjelaskan jika pelanggan hanya boleh mengajukan permohonan pemasangan PLTS Atap di dua bulan tertentu dalam satu tahun, bisa berdampak pada keterlambatan konstruksi. 

“Hal ini akan semakin lambatnya mencapai target Net Zero Emission 2060,” terangnya ketika dihubungi terpisah. 

Permasalahan pembatasan pemasangan PLTS Atap yang telah menghantui pelaku usaha sejak beberapa tahun belakangan ini, berdampak besar pada usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) pemasang PLTS Atap. 

Erlangga Bayu selaku Wakil Ketua Asosiasi PLTS Atap (APSA) Bali menceritakan dirinya yang memiliki usaha pemasangan PLTS saat ini mengalami rugi ratusan juta. 

“Saya sendiri mengalami kerugian Rp 200 jutaan dari aturan PLTS Atap saat ini,” ungkapnya. 

Dia menjelaskan, kerugian tersebut karena sejumlah persoalan. Ada PLTS Atap yang sudah terpasang setahun lebih tetapi tidak bisa dihidupkan sampai sekarang dan konsumen tidak mau membayar. 

“Persoalan ini disebabkan adanya kebijakan pembatasan pemasangan PLTS Atap tiba-tiba. Jadi kami deal-nya mengikuti aturan lama yang memperbolehkan 100% ekspor listrik, namun begitu ajukan permohonan ternyata kapasitasnya dibatasi,” jelasnya. 

Baca Juga: PLN Sedang Proses Revisi RUPTL 2021-2030

Ada juga, tiga proyek yang sudah disetujui tetapi batal. Bahkan ada dua proyek sudah membayar uang muka harus dia kembalikan lagi. 

Sedangkan, bisnis yang dijalankan Erlangga ini mempekerjakan 4 pegawai tetap dan 25 orang teknisi freelance. Tentu dengan kerugian tersebut, pegawai yang dia pekerjakan ikut terdampak. 

Persoalan ini tidak hanya dirasakan oleh Erlangga semata, hampir semua anggota APSA Bali yang berjumlah sekitar 20 pengusaha alami kesulitan. Pasalnya di Bali lebih banyak perusahaan PLTS skala kecil dan konsumennya sebagian besar skala residensial atau rumah tangga. 

APSA Bali menilai Revisi Permen ESDM PLTS Atap tidak memberikan angin segar pada pelaku usaha, bahkan dia menilai hanya membuat kondisi semakin memburuk. 

Erlangga menyebut, dengan kondisi normal Permen ESDM No 26 Tahun 2021 tidak direvisi saja, target PLTS Atap dari Kementerian ESDM tidak tercapai. Pada tahun 2022 target Kementerian ESDM 450 MW tapi yang terpasang hanya 80 MW atau 17% dari target tersebut. 

“Apalagi dengan revisi Permen ini, akan semakin jauh targetnya tercapai,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .