Pengusaha minta aturan toko modern dikaji ulang



JAKARTA. Kalangan pengusaha ritel meminta pemerintah untuk mengkaji ulang penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Ketentuan dalam beleid tersebut sulit untuk bisa diimplementasikan kalangan pengusaha ritel.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Handaka Santosa, mengatakan, beberapa poin dalam Permendag Nomor 70 Tahun 2013 tidak sesuai dengan kenyataan industri ritel di lapangan. "Pemilik pusat perbelanjaan pada kenyataannya tidak menjual barang dan hanya menyewakan tempat saja, namun dalam peraturannya harus menjual barang," katanya di Jakarta, Kamis (30/1).

Menurut Handaka, dalam pasal 22 ayat 1 Permendag Nomor 70 Tahun 2013 pusat perbelanjaan wajib menjual produk dengan ditel jenis barangnya. Ia beranggapan, poin ini sulit untuk dilaksanakan sehingga perlu ada peninjauan ulang kembali oleh pemerintah.


Poin selanjutnya yang membuat keberatan kalangan pengusaha adalah Pasal 12 Permendag 70 Taun 2013 dimana Pemerintah mewajibkan toko modern untuk memasarkan produk dalam negeri paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan.

Handaka menilai, untuk kalangan toko modern kelas menengah ke atas akan sulit untuk bisa dijalankan. Hal ini karena beberapa produk seperti kaca mata dan jam tangan belum ada yang diproduksi di dalam negeri.

APPBI juga meminta adanya kejelasan terkait pemahaman terhadap istilah toko modern karena beberapa outlet penjual merek asing bukan kategori toko modern. "Departemen Store memiliki standar luas outlet 2.000 meter persegi, sehingga merek Zara dan Mango tidak termasuk toko modern," katanya.

Handaka menegaskan, bahwa APPBI mendukung tujuan pemerintah untuk mendorong kemajuan produk-produk dalam negeri. "Sebagai anak bangsa kami mendukung produk dalam negeri, namun dalam peraturannya perlu ada penjelasan lebih jauh," katanya.

Menurut Handaka, sebelum beleid Permendag Nomor 70 Tahun 2013 terbit, pihaknya sudah memberikan masukan kepada pemerintah. Namun, Ia menyayangkan masukan dari kalangan pengusaha tidak terakomodir dalam beleid yang telah terbit.

Dengan waktu yang diberikan selama dua tahun sejak beleid terbit, Handaka mengatakan, akan sulit bagi pengusaha untuk meninjau ulang kerjasama bisnis yang telah terjalin. "Dengan syarat 80% produk dalam negeri, sulit untuk meninjau ulang kerjasama yang telah terjalin, karena pembatalan harus dengan kesepakatan dua belah pihak," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan