Pengusaha minta pembenahan sistem DMO batubara



JAKARTA. Kalangan pengusaha batubara meminta pemerintah membenahi sistem kewajiban memenuhi kebutuhan batubara di dalam negeri atawa domestic market obligation (DMO). Soalnya, banyak perusahaan batubara yang luput dalam daftar DMO.

Permintaan pengusaha ini terkait dengan keluarnya keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Zahedy Saleh, Nomor 1991 KJ30/MEM/2011. Keputusan itu menetapkan wajib pasok kebutuhan batubara di dalam negeri sebesar 82,07 juta ton pada tahun 2012. Dengan demikian DMO tahun depan sebanyak 82,07 juta ton. Angka tersebut naik 3,1 juta ton dari kebutuhan tahun 2011 yang sebesar 78,97 juta ton.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah mewajibkan perusahaan tambang batubara menjual 24,72% dari total produksi nasional ke pasar domestik. Tercatat, ada 40 perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), satu perusahaan plat merah, dan 22 perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara yang masuk daftar wajib itu.


Besarnya kuota beberapa perusahaan itu antara lain PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebanyak 12,68 juta ton, PT Adaro Indonesia (11,74 juta ton), PT Kideco Jaya Agung (8,03 juta ton), PT Arutmin Indonesia (6,59 juta ton). Sementara PT Berau Coal akan memasok sebanyak 5,51 juta ton.

Bob Kamandanu, Komisaris PT Berau Coal, menilai, daftar DMO itu belum meliputi semua perusahaan, yaitu pemegang IUP dan Kuasa Pertambangan (KP). "Jumlah perusahaan itu ada 500-an, bahkan lebih. Tapi kenapa yang diwajibkan mengikuti DMO hanya sedikit?" tanya Bob, Jumat (9/9).

Padahal, perusahaan yang tidak masuk dalam daftar wajib itu juga menjual batubaranya di pasar lokal, seperti ke PLN dan pabrik pupuk. Akibatnya, jatah batubara DMO malah tidak terbeli 100% oleh pembeli lokal. "Jatah yang tidak terserap merugikan pengusaha," tandas Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI).

Jefri Mulyono, Penasihat APBI, menjelaskan, banyaknya pemilik IUP dan KP batubara luput DMO karena sistem pengelolaan yang kurang tepat. IUP dan KP itu dikeluarkan pemerintah daerah tanpa tercatat di Kementrian ESDM. "Akibatnya, pengawasan lemah dan tidak masuk DMO," papar Jefri. Menurut Jefri, pemerintah harus segera membenahinya agar agar tidak ada batubara DMO yang mubazir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini