Pengusaha minta pembentukan holding BUMN energi



JAKARTA. Kalangan pengusaha mengusulkan PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dijadikan satu dalam sebuah perusahaan perusahaan induk (holding) BUMN energi supaya memperkecil adanya kepentingan masing-masing perseroan migas yang selama ini menghambat ekspansi industri manufaktur.

Wakil Ketua Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin, Achmad Widjaja mengatakan, PLN tidak bisa dikaitkan dengan kegiatan industri manufaktur lantara ada Pertamina yang mengurus bisnis minyak dan gas.

"Berbicara energi untuk kelangsungan kegiatan industri manufaktur hanya PLN saja tidak bisa. Karena ada Pertamina yang urus gas. PLN hanya bagian dari bisnis ini karena tarif listrik bergantung dengan harga minyak, gas, dan batubara. Mengapa energi tidak di-holdingkan? Pertamina punya hulu hilir. Seharusnya Pertamina bisa menguasai PLN, bukan didikte PLN," tegasnya.


Pasalnya, menurut Achmad, bila PLN dan Pertamina masih menjalankan bisnis mereka sendiri-sendiri hanya akan menimbulkan kepentingan masing-masing yang imbasnya adalah kepada industri manufaktur. Ia menilai, selama ini PLN cenderung semena-mena dalam menentukan tarif listrik kepada industri.

"Akhirnya PLN semena-mena dalam menaikkan tarif, subsidi kurang tinggal minta. Bila dijadikan holding, PLN ini seharusnya bukan bagian untuk cari profit karena mereka disubsidi oleh pemerintah. Hal ini berarti pemerintah ingin mendukung manufaktur secara linier," imbuh Achmad.

Tarif listri membebani industri

Dia menambahkan, tarif listrik yang diterapkan PLN kepada industri manufaktur selama ini kurang dapat membantu pengusaha. Kendati sejak Januari hingga Maret tahun ini PLN terus menurunkan tarif dasar listrik, namun penurunan tersebut dianggap tidak signifikan.

Sekadar catatan, Pada Januari 2016 tarif listrik untuk industri mengalami penurunan Rp 100 per kilowatthour (kWh). Selanjutnya, pada Februari 2016 kembali turun Rp11 sampai Rp17 per kwh. Dan Maret 2016 turun Rp26 hingga Rp41 per kWh dibandingkan tarif Februari 2016.

"I3 I4 hancur, tidak pernah disubsidi sejak 3 tahun yang lalu. PP, Kepmen, apapun belum ada. Selama ini industri selalu dibebankan sementara industri harus bersaing," katanya.

Kemudian, diskon yang ditawarkan oleh PLN kepada industri pada pukul 23.00 sampai 08.00 pun dianggap kurang membantu. "Diskon yang PLN kasih malam itu tidak efektif karena itu shift tambahan. Dengan UMR yang sudah kepala 3 ke atas, orang tidak mau lagi tambah shift," ujarnya.

Adapun selama ini dirinya juga menyayangkan keadaan di mana PLN sebagai industri utilitas yang malah berebut pasokan gas bumi dengan industri manufaktur.

"Lalu PLN dan industri manufaktur berebutan gas. PLN adalah industri utilitas, bukan industri manufaktur. Manufaktur dan utilitas tidak boleh berebutan," ungkapnya.

Namun demikian, klaim PLN atas tumbuhnya penjualan listrik penjualan listrik pada Februari 2016 sebesar 16,52 Tera Watt hour (TWh) atau tumbuh 10,41% dibandingkan Februari 2015 ini dianggap berhubungan dengan berkembangnya industri hulu, seperti kimia, semen, baja, dan lain-lain. 

Akan tetapi, berkembangnya industri hulu bukan disebabkan oleh ringannya tarif listrik, melainkan banyaknya regulasi impor yang membantu sinergi antara industri hulu dan hilir.

"Betul industri hulu bertumbuh. Ini sehubungan dengan banyaknya regulasi impor yang membantu industri hulu dan hilir untuk bersinergi," tandas Achmad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan