Pengusaha Minta Pemerintah Segera Sosialisasi UU KUHP yang Baru



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha meminta pemerintah segera melakukan sosialisasi substansi UU KUHP. Hal ini setelah UU KUHP telah disahkan pada rapat paripurna DPR, Selasa 6 Desember 2022.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang meminta pemerintah segera melakukan sosialisasi kepada stakeholder termasuk dengan dunia usaha. Hal ini untuk mengetahui secara jelas pasal pasal yang ada dalam UU KUHP, misalnya yang terkait dengan ekonomi atau korporasi.

Sosialisasi dilakukan agar tidak terjadi persepsi yang berbeda beda antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan semua stakeholder termasuk dunia usaha. Sebab nantinya dunia usaha akan mengacu pada UU KUHP yang baru.


Meski UU KUHP akan diberlakukan 3 tahun lagi, Sarman menilai, rentang waktu yang ada tersebut menjadi kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk melakukan sosialisasi.

Kadin Indonesia akan siap bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM. Misalnya untuk melakukan sosialisasi atau membedah kluster kluster yang berkaitan dengan pidana korporasi ataiu berkaitan dengan ekonomi yang ada dalam UU KUHP.

“Yang jelas pemerintah harus dapat menjelaskan sedetail mungkin maksud dan tujuan ini, pasal ini, sehingga kita memiliki pemahaman yang sama. Sehingga iklim usaha dan investasi bisa selalu kita jaga dengan aturan main yang bisa kita pahami bersama,” ujar Sarman kepada Kontan.co.id, Minggu (11/12).

Baca Juga: Hotman Paris Soroti Sejumlah Pasal dalam UU KUHP

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, adanya pasal pidana korporasi takkan berpengaruh pada keinginan investor menanamkan modalnya.

"Apakah itu akan berdampak kepada investasi? Kalau menurut saya enggak sejauh itu. Kalau untuk keputusan investasi dengan adanya RKUHP menurut saya enggak, tidak ada dampaknya yang signifikan. Jadi istilahnya investor nggak akan pada nggak jadi gitu," kata Hariyadi kepada Kontan.co.id, Kamis (8/12).

Hariyadi menambahkan, pasal mengenai pidana korporasi lebih banyak terkait dengan urusan dana publik. Namun, Hariyadi mengatakan perlu ada rambu-rambu yang jelas mengenai pidana korporasi seperti apa yang dimaksud.

Hal tersebut untuk menghindari adanya bias aturan saat nantinya diimplementasikan. Kendati demikian, Haryadi mempertanyakan mengenai adanya pidana bagi korporasi. Lantaran biasanya pidana hanya dijatuhkan pada perorangan.

"Penerapannya jangan tebang pilih, misal kalau Jiwasraya sama Asabri nggak papa. Itu PT lho korporasi juga. Jadi harus clear juga rambu-rambunya pidana korporasi itu seperti apa, harus jelas," ujarnya.

Apabila rambu-rambunya tidak jelas, dikhawatirkan juga menjadi tantangan tersendiri bagi sektor swasta di pelayanan publik untuk melangkah.

Kemudian di sektor pariwisata, Hariyadi masih akan melihat bagaimana implementasi ke depan. Adanya pasal-pasal yang dinilai publik masuk ranah privasi, dikhawatirkan menjadi potensi kriminalisasi ke depan. Maka perlu ada pengawalan penerapan aturan ini ke depan.

Namun, dari yang Ia pahami, pasal perzinahan dan kohabitasi bersifat delik aduan. Pun aduan juga dibatasi yakni dari orang tua, anak dan pasangan resmi.

"Apakah itu akan berdampak ke pariwisata kita lihat ya. Mudah-mudahan enggak dan kami akan awasi bagaimana implementasi RKUHP ini," kata Hariyadi.

Baca Juga: Benarkah UU KUHP yang Baru Berdampak Negatif ke Iklim Investasi?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat