Pengusaha Nilai Pemberian Insentif Tak Efektif Cegah PHK



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui para pekerja di berbagai sektor. Sebut saja baru-baru ini badai PHK menerjang perusahaan digital.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada pemberian insentif saja. Melainkan, mencari jalan agar bagaimana orang yang tidak bekerja (phk) bisa mendapatkan pekerjaanya lagi.

Berdasarkan data BKPM, total investasi selalu menunjukkan tren kenaikan, hanya saja efeknya ke penyerapan tenaga kerja justru sebaliknya. 


Baca Juga: Marak Badai PHK, Pemerintah Dalami Pemberian Insentif Bagi Pekerja

Sebut saja di tahun 2013, total investasi mencapai Rp 398,3 triliun dengan menyerap tenaga kerja sebanyak Rp 1,82 juta orang. Namun pada tahun 2021, total investasi mencapai Rp 901,02 triliun namun dampaknya ke penyerapan tenaga kerja hanya sebanyak Rp 1,20 juta orang.

"Harus dilihat semua data yang ada bahwa sektor formal itu menyusut. Ditambah lagi sekarang ada masalah penurunan order sampai 50%. Mau dikasih insentif kayak gimana juga ngak bisa mantap gitu loh. PHK akan terjadi," ujar Hariyadi kepada Kontan.co.id, Minggu (27/11).

"Harusnya pemerintah itu berpikir bagaimana orang yang gak bekerja itu bisa bekerja, bukannya ngotak-ngatik mulai upah minimum," katanya.

Selain itu, dengan adanya penurunan order saat ini di sektor padat karya, dirinya menilai pemberian insentif tidak akan bisa mengantisipasi terjadinya PHK.

Baca Juga: Begini Perhitungan Terbaru Pesangon Korban PHK yang Wajib Diketahui Karyawan

"Masalahnya ordernyakan turun. Ambil kata dia biasanya sebulan dia dapat order Rp 50 miliar. Sekarang ujug ujug tinggal Rp 25 miliar terus disuruh ngak PHK, bagaimana coba caranya? Semua rata-rata kan sudah merumahkan, untuk PHK kan dia pakai pesangon gak sanggup juga," katanya.

Di sisi lain, Hariyadi melihat penyusutan penyerapan tenaga kerja bukan dipicu oleh kondisi geopolitik. 

Hal ini lantaran mulai dari tahun 2003 hingga 2001 investasi naik namun penyerapan tenaga kerja juga ikut menyusut. Untuk itu, dirinya melihat investasi yang masuk di Indonesia bukanlah investasi yang berkualitas untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli