KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, pemerintah berupaya mengerek peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia agar memenuhi target. Tak main-main, target yang dipatok oleh Presiden Joko Widodo ialah kenaikan peringkat dari ke-73 menuju peringkat ke-40. Namun, target ini dinilai terlalu ambisius sebab reformasi kebijakan yang berjalan di Indonesia sejauh ini belum begitu pesat. Terkait Online Single Submission (OSS), misalnya, yang merupakan upaya pemerintah mereformasi sistem perizinan usaha. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang hubungan internasional Shinta Kamdani menilai, OSS sejatinya bisa menjadi senjata ampuh untuk mencapai loncatan peringkat EODB.
"Indikator penilaian seperti Starting a Business, Dealing with Construction Permits, dan Registering Property sebenarnya bisa langsung diperbaiki dengan OSS," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (13/2). Namun sayangnya, Shinta menambahkan, masih banyak kendala dalam implementasi OSS sejak berlaku pertengahan tahun lalu. Lantas, ia pun ragu penilaian Bank Dunia terhadap efektivitas OSS bisa tinggi seperti yang diharapkan pemerintah. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga berpendapat serupa. Ia menilai, sistem OSS masih belum sepenuhnya mengintegrasikan proses perizinan usaha baru secara online. "Terutama, selama ini masih banyak komplain dari pelaksanaan OSS di daerah-daerah," kata dia, Rabu (13/2). Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, belum sinkronnya pelaksanaan OSS justru membuat proses perizinan usaha baru tidak efisien. "Orang yang mau apply usaha baru justru jadi harus menggunakan dua sistem, sistem yang lama dan sistem baru (OSS). Jadi, pemerintah masih punya PR untuk menyelesaikan permasalahan OSS," ujarnya. Selain itu, Faisal menilai, kemajuan dalam indikator perdagangan lintas batas (trading across borders) juga masih jalan di tempat. Pasalnya, kebijakan pemerintah terkait pengurangan waktu bongkar muat barang (dwelling time) dan kawasan berikat dianggap belum menunjukkan perubahan signifikan lantaran kurangnya kajian terhadap karakter industri dan rantai nilai (value chain) industri sebelum menerapkan kebijakan. "Kawasan berikat, misalnya, perlu dievaluasi lagi karena sebenarnya tidak semua industri mestinya wajib menggunakan kawasan berikat. Bagi industri yang sudah punya jalur distribusi yang bagus dan efektif, kewajiban kawasan berikat ini justru menyulitkan dan memperlambat," kata Faisal. Oleh karena itu, Faisal pesimis Indonesia bisa menyabet peringkat ke-40 di penilaian EODB tahun ini. Prediksinya, perbaikan peringkat Indonesia hanya akan terjadi secara marjinal alias tidak berbeda jauh dari posisi saat ini di peringkat ke-73 dari 190 negara. "Ide-ide kebijakan baru memang cukup banyak belakangan, tapi implementasinya pun juga masih mengalami banyak kendala. Ini yang membuat indikator-indikator penilaian belum akan berubah signifikan," ujarnya. Shinta juga melihat, target EODB tersebut sangat sulit dicapai. Pasalnya, laju reformasi negara berkembang lainnya juga luar biasa, khususnya di Afrika dan Asia Tengah. "Ini menunjukkan bahwa semua negara memiliki komitmen yang sama untuk melakukan reformasi. Bila kita benar-benar ingin naik ke peringkat 40, reformasi yang kita lakukan harus luar biasa," pungkasnya.