Pengusaha Pengolah Plastik Protes Bea Masuk BOPP



JAKARTA. Pengusaha industri kemasan dan komponen plastik tengah meradang. Mereka memprotes rencana Komite Anti Dumping Indonesian (KADI) menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor produk Bi-Axially Oriented Polypropylene Film (BOPP) dari Thailand. Bagi industri kemasan dan komponen, BOPP merupakan komponen bahan baku yang cukup penting. Selain dari lokal, selama ini pengusaha memasok BOPP dari beberapa negara seperti Thailand dan China.

Pengusaha beralasan, pengenaan BMAD hanya menguntungkan industri BOPP lokal dan mempersempit alternatif pasokan BOPP bagi industri kemasan dan komponen plastik. "Kami menilai impor dari Thailand tetap diperlukan untuk memberikan keseimbangan serta menjamin efisiensi pasokan dari produsen BOPP lokal. Kami sangat mengharapkan agar pemerintah tidak menerapkan BMAD yang telah direkomendasikan atau diusulkan KADI," kata Ketua Umum Industri Kemas Fleksibel Indonesia (Rotokemas) Felix S Hamidjaja, pekan lalu.

Saat ini, harga BOPP buatan lokal dan dalam negeri cukup bersaing. Artinya, harga tidak terpaut terlalu jauh bahkan impor cenderung lebih murah. Hal ini yang membuat pengusaha industri kemasan dan komponen plastik berani membagi pasokan BOPP seimbang antara lokal dengan impor. Dengan harapan, hal ini menciptakan produktivitas biaya produksi.


Mengingat, jika seluruh pasokan dari lokal semata biaya produksi menjadi kurang efisien. Penyebabnya, produsen hulu dalam negeri menerapkan transaksi perdagangan pembelian bahan baku menggunakan nilai tukar dolar AS. Sementara kondisinya saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat fluktuatif.

Pengusaha menilai, walaupun terdapat alternatif pasokan dari negara lain jika BMAD jadi diterapkan pemerintah, mereka memandang bahwa perubahan pemasok tersebut tidak begitu mudah saja dapat dilakukan. Pemerintah harus mempertimbangkan reliability pasokan seperti kualitas, harga termasuk proses pengiriman

Rencananya, pemerintah bakal menerapkan BMAD produk BOPP asal Thailand dengan besaran 11% hingga 16%. Dalam suratnya kepada asosiasi Rotokemas Indonesia, Ketua KADI Halida Miljani meminta pengusaha industri hilir memberikan tanggapan tertulis mereka maupun hearing atau dengar pendapat dalam batas waktu 15 hari terhitung sejal 17 Desember 2008 hingga 5 Januari 2009. "Semua tanggapan yang disampaikan akan menjadi dasar KADI dalam mengambil keputusan hasil penyelidikan," kata Halida.

KADI memulai penyelidikan anti dumping berdasarkan permohonan PT Trias Sentosa, PT Argha Karya Prima Industry dan PT Fatrapolindo Nusa Industri yang mewakili industri dalam negeri. KADI mengambil kesimpulan sementara bahwa barang impor dumping telah mengakibatkan kerugian material bagi industri dalam negeri. Itulah sebabnya, KADI merekomendasikan pengenaan BMAD Sementara (BMADS) kepada produsen atau eksportir asal Thailand berkisar 11,03% hingga 16,11%. Hal itu bertujuan mencegah terjadinya kerugian yang lebih parah selama penyelidikan berlangsung.

Para pengusaha pun ikut memprotes waktu yang diberikan KADI kepada mereka. Sebab, waktu 15 hari sebagai batas waktu memberikan tanggapan mereka atas keputusan KADI sangatlah pendek. Terlebih, dalam waktu 15 hari itu banyak diselingi hari libur panjang. Selain dumping, pengusaha ikut pula meminta pemerintah memberlakukan secara tegas untuk kebijakannya tentang penggunaan mata uang rupiah dalam setiap transaksi perdagangan di dalam negeri.

Presiden Direktur PT Dynaplast Tbk Tirtadjaja Hambali mengatakan dominasi penggunaan nilai tukar dolar AS di dalam negeri berdampak pada meningkatnya kerugian di sektor pengolahan plastik yang selama ini terpaksa menyesuaikan transaksi dengan mata uang dolar AS untuk pembelian bahan baku dari sektor hulu petrokimia di Cilegon, gas dari PT PGN, termasuk kebutuhan kertas cetak dan tinta. "Kondisi itu berpotensi merugikan industri hilir plastik sekitar US$120 juta per bulan atau US$1,44 miliar sepanjang 2009," tandas Tirtadjaja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.