JAKARTA. Kalangan pengusaha batubara mempertanyakan tingginya tarif royalti yang ditetapkan pemerintah dalam Keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 466.K/32/DJB/2015 terkait acuan biaya produksi batubara untuk pembangkit tenaga listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang. Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengatakan, pihaknya mempertanyakan dikenakannya iuran produksi atau sebesar 20,3% dalam acuan biaya produksi. "Asumsi angka 20,3% itu dari mana itu tidak dijelaskan oleh pemerintah, padahal sekarang tarif royalti untuk izin usaha pertambangan (IUP) hanya sebesar 3%, 5%, dan 7% tergantung kualitas kalorinya," kata Ekawahyu ketika dihubungi KONTAN, Jumat (6/3). Sementara, Waskito Tanuwijoyo, General Manajer Exploration PT Bhakti Coal Resources mengatakan, dalam Kepdirjen tersebut justru asumsi pengenaan iuran produksi berdasarkan tarif royalti sebesar 13,5% dari harga jual batubara. Padahal, tarif 13,5% hanya berlaku untuk perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) bukan untuk penambang pemegang IUP. "Tarif royalti yang dipungut sebenarnya adalah 13,5%," kata Waskito. Budi Santoso, Ketua Working Group Kebijakan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan, tingginya pengenaan tarif royalti tersebut mencerminkan pemerintah masih setengah hati untuk mendorong pertumbuhan PLTU mulut tambang di tanah air. Pasalnya, pemerintah masih mengedepankan penerimaan negara dibandingkan tumbuhnya pemanfaatan batubara di dalam negeri. Sehingga, beban tersebut bisa berdampak pada keekonomian pembangkit listrik mulut tambang. "Terlalu sederhana pendekatan pemerintah kalau melihat PLTU mulut tambang hanya sekadar menaikkan biaya dan royalti yang menjadi bagian penerimaan pemerintah," kata Budi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pengusaha pertanyakan tingginya royalti batubara
JAKARTA. Kalangan pengusaha batubara mempertanyakan tingginya tarif royalti yang ditetapkan pemerintah dalam Keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 466.K/32/DJB/2015 terkait acuan biaya produksi batubara untuk pembangkit tenaga listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang. Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengatakan, pihaknya mempertanyakan dikenakannya iuran produksi atau sebesar 20,3% dalam acuan biaya produksi. "Asumsi angka 20,3% itu dari mana itu tidak dijelaskan oleh pemerintah, padahal sekarang tarif royalti untuk izin usaha pertambangan (IUP) hanya sebesar 3%, 5%, dan 7% tergantung kualitas kalorinya," kata Ekawahyu ketika dihubungi KONTAN, Jumat (6/3). Sementara, Waskito Tanuwijoyo, General Manajer Exploration PT Bhakti Coal Resources mengatakan, dalam Kepdirjen tersebut justru asumsi pengenaan iuran produksi berdasarkan tarif royalti sebesar 13,5% dari harga jual batubara. Padahal, tarif 13,5% hanya berlaku untuk perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) bukan untuk penambang pemegang IUP. "Tarif royalti yang dipungut sebenarnya adalah 13,5%," kata Waskito. Budi Santoso, Ketua Working Group Kebijakan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan, tingginya pengenaan tarif royalti tersebut mencerminkan pemerintah masih setengah hati untuk mendorong pertumbuhan PLTU mulut tambang di tanah air. Pasalnya, pemerintah masih mengedepankan penerimaan negara dibandingkan tumbuhnya pemanfaatan batubara di dalam negeri. Sehingga, beban tersebut bisa berdampak pada keekonomian pembangkit listrik mulut tambang. "Terlalu sederhana pendekatan pemerintah kalau melihat PLTU mulut tambang hanya sekadar menaikkan biaya dan royalti yang menjadi bagian penerimaan pemerintah," kata Budi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News