KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Program hilirisasi bauksit terkendala masalah pendanaan. PLH ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto, mengungkapkan bahwa pendanaan eksternal untuk membiayai proyek smelter bauksit sulit didapat. Alasannya karena pihak perbankan ataupun lembaga pembiayaan kerap menilai bahwa proyek-proyek smelter bauksit kurang
feasible. Sementara itu, arus kas pengusaha cekak lantaran kesulitan menjual bauksit seturut terbitnya kebijakan larangan ekspor bijih bauksit sejak Juni 2023 lalu. Hal ini dikarenakan kapasitas daya tampung olahan smelter-smelter pemurnian bauksit di dalam negeri masih terbatas. “Kendalanya duit,” ujar Ronald saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (26/1).
Baca Juga: Prospek Emiten Tambang Nikel: Dibayangi Oversupply hingga Kejatuhan Harga Jual Seperti diketahui,
berdasarkan catatan APB3I, produksi tahunan bauksit Indonesia bisa mencapai hingga 30 juta ton per tahun. Hanya saja, kapasitas input di dalam negeri untuk mengolah/memurnikan bauksit masih terbatas. Untuk smelter jenis Smelter Grade Alumina (SGA), total kapasitas input secara nasional hanya mencapai 12 juta ton per tahun, sementara smelter Chemical Grade Alumina (CGA) dengan total kapasitas input 1-2 juta ton per tahun. Buntutnya, sebagian pengusaha bauksit terpaksa menahan atau bahkan sampai menghentikan produksi sembari mengencangkan ikat pinggang. Salah satu caranya ialah dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Kontan.co.id mencatat, berdasarkan informasi yang sampai ke APB3I sebelumnya, setidaknya terdapat ribuan karyawan tambang bauksit di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau sejak awal tahun 2023 hingga Desember 2023. Itulah sebabnya, Ronald berharap pemerintah bisa melonggarkan kebijakan larangan ekspor. Cara ini, menurut Ronald, bisa membantu pengusaha menyelesaikan proyek-proyek smelternya. Sebab, dengan relaksasi ekspor, pengusaha bisa kembali berproduksi dan peroleh pendapatan. “Caranya (agar proyek-proyek smelter selesai) diberikan relaksasi ekspor. Sambil berjalan pasti smelter terbangun,” ujar Ronald. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
saat ini sudah 4 smelter yang beroperasi dengan kapasitas input/pemurnian 13,8 juta ton dengan kapasitas produksi 4,3juta ton alumina.. Baca Juga: Harga Nikel Melandai, Ini Dampaknya Bagi Industri Tambang dan Smelter dalam Negeri Untuk menambah kapasitas tampung smelter, Pemerintah melalui Direktorat Minerba Kementerian ESDM tengah berusaha mendorong percepatan penyelesaian 8 smelter alumina yang sedang dalam proses penyelesaian.
Kedelapan smelter tersebut ialah smelter milik PT Borneo Alumina Indonesia di Mempawah Kalimantan Barat, PT Laman Mining di Ketapang Kalimantan Barat, PT Kalbar Bumi Perkasa di Sanggau, Kalimantan Barat, PT Quality Sukses Sejahtera di Pontianak Kalimantan Barat, PT Persada Pratama Cemerlang di Sanggau Kalimantan Barat, PT Parenggean Makmur Sejahtera di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, PT Sumber Bumi Marau di Kalimantan Barat, dan PT Dinamika Sejahtera Mandiri di Kalimantan Barat. Ketika sudah beroperasi nanti, kedelapan smelter ini diharapkan dapat menampung 24,5 juta bauksit untuk memproduksi sekitar 8,5 juta alumina. “Kami terus mendorong agar smelternya segera beroperasi,” kata Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (26/1). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .