KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (Aprebi) menyoroti indikasi kampanye hitam (b
lack campaign) terhadap produk wood pellet asal Indonesia. Aprebi khawatir
black campaign ini bisa menjegal pasar ekspor dan prospek pengembangan industri biomassa nasional. Sekretaris Jenderal Aprebi, Dikki Akhmar menduga ada agenda
black campaign yang secara sistematis dilakukan oleh sejumlah pihak, yang mengaku sebagai lembaga swadaya masyarakat atau
Non-Governmental Organization (NGO). Pihak tersebut menuding wood pellet asal Indonesia merupakan hasil dari deforestasi. "
Black campaign ini sudah provokatif, bahkan mengarah intimidasi terhadap para pembeli. Membuat pembeli utama di Jepang menjadi ragu-ragu," ungkap Dikki dalam
focus group discussion yang berlangsung di Kementerian Kehutanan, Rabu (5/11/2025).
Dikki menegaskan bahwa produk wood pellet Indonesia sudah memenuhi ketentuan, termasuk sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Dikki pun mengklaim wood pellet Indonesia tetap menjaga konservasi alam dan memenuhi etika lingkungan.
Baca Juga: Outlook Industri Batubara 2026: Ada Harapan, Meski Harga Tergantung Suplai-Permintaan Aprebi menyoroti persoalan ini berkaitan dengan kepastian berusaha, yang bisa berdampak terhadap iklim investasi. Menurut Dikki, black campaign ini membuat para pelaku industri biomassa menahan diri untuk melakukan ekspansi pengelolaan lahan dan pabrik wood pellet baru. Padahal, industri ini bisa menyerap investasi yang cukup tinggi, yakni di atas Rp 1 triliun. "Kami ingin dapat kepastian hukum dari pemerintah, (black campaign terhadap wood pellet) tidak menimbulkan ekses negatif. Pemerintah mesti meyakinkan Jepang bahwa mereka acceptance terhadap SVLK. Kalau sudah diterima, akan lebih cepat mengembangan industri ini," terang Dikki. Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kementerian Kehutanan, Erwan Sudaryanto memastikan bahwa pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan hasil hutan dari hulu hingga hilir, apalagi sebagai persyaratan ekspor. Upaya itu antara lain melalui SVLK, yang merupakan sistem untuk memastikan hasil hutan berasal dari sumber legal, berkelanjutan dan mematuhi aturan. "SVLK ini harus dipenuhi, suatu keniscayaan. Kami punya pilar pengelolaan hutan lestari, termasuk kepastian hukum dan berusaha. Pemerintah berbuat fair untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha, menjaga kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan," kata Erwan.
Potensi Industri Wood Pellet
Aprebi membeberkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan industri wood pellet, sebagai salah satu jenis biomassa potensial. Dikki bilang, saat ini hampir seluruh produksi wood pellet Indonesia berorientasi pada pasar ekspor, lantaran harga di pasar domestik kurang kompetitif. Dikki memberikan gambaran, harga di pasar dalam negeri hanya berkisar Rp 800.000 per ton. Sementara harga di pasar ekspor menembus sekitar US$ 114 per ton. Jepang menjadi negara tujuan ekspor utama dengan porsi mencapai sekitar 80%. Selain Jepang, Korea Selatan menjadi pasar ekspor wood pellet Indonesia. Dus, ekspor wood pellet Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap pasar Jepang. Negeri Samurai ini merupakan importir wood pellet terbesar kedua di dunia setelah Inggris. Dikki bilang, pelaku industri wood pellet Indonesia tidak mudah mengembangkan pasar ekspor, lantaran harus mempertimbangkan biaya logistik. Selama ini, Amerika Serikat (AS), Kanada dan Vietnam menjadi produsen dan eksportir wood pelet terbesar. Dikki pun khawatir, black campaign yang terus didengungkan oleh sejumlah pihak bisa menggilas pasar ekspor wood pellet Indonesia di Jepang. Padahal, Indonesia punya keunggulan kompetitif dengan jarak pengiriman yang lebih efisien. "AS dan Kanada eksportir terbesar ke Jepang. Kalau Indonesia bisa berkembang dengan
logistic cost yang lebih rendah, maka AS dan Kanada bisa terpotong oleh Indonesia," terang Dikki. Pada saat yang sama, ekspor wood pellet dari Vietnam juga merangsek naik ke pasar Jepang. Dengan kondisi ini, Dikki memprediksi nilai ekspor wood pellet Indonesia tahun 2025 akan cenderung stagnan dibandingkan tahun lalu. Padahal, ekspor wood pellet Indonesia telah mencapai kenaikan yang signifikan, Nilai ekspor melonjak lebih dari dua kali lipat dari sekitar US$ 14,74 juta pada tahun 2023 menjadi US$ 40,3 juta pada tahun lalu. Secara keseluruhan, Kementerian Kehutanan mencatat industri wood pellet tumbuh pesat. Produksi wood pellet Indonesia melonjak sekitar tiga kali lipat dari 103.356 m³ pada tahun 2020 menjadi 333.971 m³ pada tahun 2024. Rata-rata produksi wood pellet di Indonesia pada periode 2020-2024 mencapai 199.525 m³ per tahun. Jumlah industri wood pellet mencapai 35 unit dengan total kapasitas izin produksi sebesar 3,18 juta m³ per tahun hingga akhir 2024. Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Milton Pakpahan turut menekankan pentingnya kepastian kebijakan untuk menjamin keamanan berusaha, guna menarik minat investasi dalam pengusahaan Hutan Tanaman untuk Energi (HTE). Milton menilai perlu ada jaminan kontrak jangka panjang, serta skema yang memberikan keuntungan bagi pelaku industri di hulu dan hilir. Selain itu, harga produk biomassa yang wajar diperlukan untuk memberikan pengembalian investasi yang layak. "Penting juga sosialisasi dan promosi bahwa HTE bukan driver deforestasi," tandas Milton.
Baca Juga: Likuiditas Seret, Wijaya Karya (WIKA) Andalkan Restrukturisasi dan Dukungan Danantara Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News