KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggunaan asuransi nasional dalam angkutan ekspor dan impor batubara mulai diimplementasikan per 1 Februari 2019. Namun pengusaha batubara masih menyimpan kekhawatiran terkait aturan tersebut. Bagi perusahaan yang belum menyesuaikan sendiri, belum ada sanksi yang dikenakan. Sebab selama sebulan, Kementerian Perdagangan (Kemdag) masih memberikan waktu evaluasi. "Tetap berlaku (per 1 Februari). Kita akan evaluasi setelah pelaksanaannya," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemdag Oke Nurwan kepada Kontan.co.id, belum lama ini. Masa evaluasi ini sesuai dengan permintaan dari pelaku usaha batubara. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menuturkan, pihaknya sudah bersurat dan melakukan diskusi intensif supaya ada periode uji coba dalam implementasi kebijakan ini.
Sebab, kata Hendra, kebijakan ini belum disertai dengan kesiapan teknis, seperti daftar perusahaan asuransi mana saja yang direkomendasikan, dan sesuai dengan kriteria pelayaran ekspor batubara. Apalagi, skema yang berlaku dihampir seluruh perusahaan atau eksportir batubara adalah
Free on Board (FOB). Artinya, pihak
buyer (importir) yang menunjuk atau memilih perusahaan jasa asuransi dan penyedia kapal, di mana kewajiban untuk mengasuransikan produk ada di pihak importir. "Ini yang membuat pelaksanaannya tidak mudah," kata Hendra. Terlebih, negosiasi atas kontrak yang sudah berlaku pun akan lebih sulit mengingat kondisi pasar dan harga batubara berada dalam tren yang negatif di hampir enam bulan terakhir ini. Alhasil, industri batubara saat ini berada dalam
buyers market, di mana pihak pembeli atau importir dari negara lain memegang posisi tawar yang lebih kuat dibanding perusahaan batubara dari Indonesia. "Jadi dalam pelaksanan kebijakan ini juga perlu dapat
support pemerintah untuk menjelaskan ke negara-negara importir (batubara) kita," pinta Hendra. Hendra bilang, pelaku usaha juga meminta supaya implemetasi kebijakan ini tidak menghambat kinerja ekspor batubara, serta tidak mendapatkan beban tambahan dari biaya atas peralihan skema ini. Sebagai informasi, ekspor batubara menjadi salah satu andalan pemerintah untuk mendulang devisa, di mana pada tahun 2018, data dari Kementerian ESDM mencatat ekspor batubara sebesar 395 juta ton atau sekitar 75% dari produksi batubara nasional yang mencapai 528 juta ton. Sementara itu, meski saat ini menggunakan skema FOB, sejumlah pelaku usaha batubara mengaku siap untuk mendukung kebijakan penggunaan asuransi nasional. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Head of Corporate Communication Indika Energy Leonardus Herwindo serta Direktur Independen dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava yang mengaku bahwa kebijakan ini tidak berpengaruh signifikan terhadap perusahaannya. "Kami ekspor berdasarkan FOB, tentu saja kami bisa membantu mereka (importir) untuk mengatur sesuai dengan kebijakan pemerintah ini," kata Dileep. Namun, ada juga perusahaan yang tak lantas sepakat dengan kebijakan ini.
General Manager External Relations PT Berau Coal Singgih Widagdo, misalnya, mengatakan bahwa sesuai
International Commercial Terms (Incoterm) semestinya perusahaan yang menjalankan skema FOB tidak didorong untuk melakukan asuransi. Menurut Singgih, dalam kaidah bisnis internasional Incoterm, diatur dengan jelas perbedaan antara kewajiban penggunaan skema FOB dengan skema
Cost, Insurance, and Freight (CIF). "Ini lah yang harus dipahami oleh pemerintah, dalam hal ini Kemdag," ungkapnya. Sedangkan menurut
Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira, pihaknya berharap agar implementasi penggunaan asuransi nasional ini dilakukan secara bertahap. Bahkan, Nadira pun barharap supaya kebijakan ini disertai dengan insentif sebagai daya tarik kepada buyer yang menggunakan asuransi nasional. "Dan ada peran aktif dari Kemdag agar mendapatkan dukungan dari pemerintah negara-negara importir batubara Indonesia," kata Nadira. Sementara Direktur Utama Harum Energy, Ray Antonio Gunara, bahkan mengaku masih mendalami Permendag Nomor 80 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permendag Nomor 82 Tahun 2017 yang mengatur penggunaan aturan laut dan asuransi nasional untuk ekspor dan impor barang tertentu ini. Ray menganggap, masih banyak hal yang dirasa belum jelas dari kebijakan ini. Seperti daftar asuransi nasional mana yang bisa digunakan dan siapa yang akan menanggung biayanya. "Pada umumnya kan penjualan dilakukan secara FOB, sehingga pembeli yang menanggung biayanya. Kami juga masih mendalami peraturan ini," ujarnya, Minggu (3/2). Sebelumnya, Oke Nurwan meyakinkan bahwa penggantian skema asuransi ini tidak akan menyulitkan pelaku usaha. Pasalnya, sesuai dengan ketentuan, kata Oke, perubahan skema itu bisa dilakukan oleh eksportir atau importir dengan menghubungi asuransi yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Sehingga bagi yang kontrak FOB maka tinggal menghubungi importir untuk menggunakan asuransi yang ada representatifnya di Indonesia," terangnya. Adapun, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe, kebijakan ini akan signifikan meningkatkan pertumbuhan premi nasional. Namun, ia mengakui tidak semua perusahaan asuransi siap untuk melaksanakan kebijakan ini. Syarat perusahaan asuransi yang bisa menerbitkan polis untuk kebijakan ini pun telah tertuang dalam Perdirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Nomor 2 Tahun 2019. Pasal 3 aturan tersebut mengatur tentang syarat bagi perusahaan perasuransian nasional atau konsorsum perusahaan perasuransian nasional yang dapat terdaftar di Kemdag. Antara lain, nilai modal yang disetor paling sedikit Rp 1 miliar, dan nilai ekuitas paling sedikit Rp 500 miliar. Juga mencakup keterangan kantor cabang atau perwakilan di sentra ekspor barang tertentu serta alamat
claim agent yang dimiliki di negara tujuan ekspor. Menurut Dody, berdasarkan laporan keuangan teraudit perusahaan asuransi tahun 2017, dari 76 perusahaan asuransi umum yang ada, hanya 18 perusahaan yang berpeluang dapat menerbitkan polis asuransi pengangkutan ekspor dan impor sesuai dengan aturan tersebut. Sebab, hanya 18 perusahaan yang memiliki
equity minimal Rp. 500 miliar.
"Selebihnya harus bergabung menjadi konsorsium," ujarnya. Sebelumnya, Oke Nurwan meyakinkan bahwa penetapan kebijakan asuransi dan angkutan laut nasional ini telah dipertimbangkan ekonomi global dan defisit neraca perdagangan pada sektor jasa. Oke menyebut, saat ini kegiatan logistik di Indonesia tercatat sebesar Rp. 2.400 triliun. Namun, untuk perdagangan dan industri sektor transportasi laut maupun asuransi Indonesia, hanya memegang porsi kurang dari 1%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi