JAKARTA. Upaya Bank Indonesia (BI) untuk mendukung peningkatan kegiatan ekonomi di sektor riil yang membutuhkan valas khususnya yang terkait perdagangan internasional untuk mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik dengan tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah ternyata direspons positif oleh kalangan pengusaha. Ketentuan baru tersebut menerangkan, perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis dengan nilai importasi US$ 100.000 ke atas harus menyertakan dokumen penggunaan bahan baku tersebut. "Kami tidak ada persoalan mengenai peraturan baru tersebut, selama sifatnya hanya pendataan saja," kata Hadi Sutjipto, Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Selama ini, menurut Hadi setiap perusahaan manufaktur yang melakukan impor atau ekspor telah melakukan pengisian Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Isi dokumen tersebut antara lain mencakup permasalahan kegunaan barang yang akan diimpor. Sementara itu Henky Wibawa, Ketua Umum Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) mengatakan, bila sifatnya hanya sekadar pendataan pihaknya tidak mempermasalahkan. Namun Henky tidak setuju apabila sifatnya sampai pada eksekusi. "Eksekusi seperti itu ranahnya dilakukan oleh Kementerian Keuangan," ujar Henky. Menurut Henky, selama ini dokumen isian PIB dirasa sudah cukup untuk menunjukkan tata niaga barang yang akan diimpor oleh sebuah perusahaan. "Saya rasa kalau untuk sekadar pendataan saja, pengisian PIB tersebut sudah cukup," kata Henky. Henky khawatir, apabila kebijakan BI tersebut sifatnya wajib akan menimbulkan beberapa permasalahan di antaranya persoalan waktu dan biaya. Sehingga dapat mengganggu efisiensi bagi perusahaan.
Pengusaha tak persoalkan kebijakan pendataan BI
JAKARTA. Upaya Bank Indonesia (BI) untuk mendukung peningkatan kegiatan ekonomi di sektor riil yang membutuhkan valas khususnya yang terkait perdagangan internasional untuk mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik dengan tetap memperhatikan stabilitas nilai tukar rupiah ternyata direspons positif oleh kalangan pengusaha. Ketentuan baru tersebut menerangkan, perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis dengan nilai importasi US$ 100.000 ke atas harus menyertakan dokumen penggunaan bahan baku tersebut. "Kami tidak ada persoalan mengenai peraturan baru tersebut, selama sifatnya hanya pendataan saja," kata Hadi Sutjipto, Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Selama ini, menurut Hadi setiap perusahaan manufaktur yang melakukan impor atau ekspor telah melakukan pengisian Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Isi dokumen tersebut antara lain mencakup permasalahan kegunaan barang yang akan diimpor. Sementara itu Henky Wibawa, Ketua Umum Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) mengatakan, bila sifatnya hanya sekadar pendataan pihaknya tidak mempermasalahkan. Namun Henky tidak setuju apabila sifatnya sampai pada eksekusi. "Eksekusi seperti itu ranahnya dilakukan oleh Kementerian Keuangan," ujar Henky. Menurut Henky, selama ini dokumen isian PIB dirasa sudah cukup untuk menunjukkan tata niaga barang yang akan diimpor oleh sebuah perusahaan. "Saya rasa kalau untuk sekadar pendataan saja, pengisian PIB tersebut sudah cukup," kata Henky. Henky khawatir, apabila kebijakan BI tersebut sifatnya wajib akan menimbulkan beberapa permasalahan di antaranya persoalan waktu dan biaya. Sehingga dapat mengganggu efisiensi bagi perusahaan.