JAKARTA. Kawasan Indonesia timur terkenal dengan potensi sumber daya energi baru terbarukan (EBT) yang berlimpah, namun pemerintah kurang bisa mendorong investasi masuk ke wilayah tersebut. Pasalnya, pengusaha memandang insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk pengembangan EBT di wilayah timur sangat kurang dan regulasinya kurang mendukung.Andi Rukman Karumpa, Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia mengatakan, lemahnya insentif menjadi persoalan krusial. Selain itu, regulasi yang dikeluarkan kementerian terkait juga tidak bersahabat untuk investor maupun IPP.Misalnya, Permen No 12 tahun 2017 mengenai pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan bagi Penyediaan Tenaga Listrik hanya memberikan penegasan PLN harus membeli listrik semurah mungkin. Sehingga Permen tersebut tidak memberikan rangsangan yang baik untuk IPP berinvestasi.
"Semangat Permen hanya bagaimana membeli murah, tetapi tidak dipikirkan bagaimana produksinya menjadi lebih murah lagi, sehingga marginnya menarik bagi pengusaha," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (14/3). Padahal dengan potensi sebesar itu, harusnya investasi di EBT dibuat semenarik mungkin untuk mengundang investor datang. Apalagi dengan adanya keterbatasan infrastruktur, SDM, cost of fund, tentunya menjadi pertimbangan investor untuk mengambil risiko di kawasan Indonesia timur. Menurut Andi, dengan adanya permen yang menegaskan tarif EBT hanya 85% dari BPP daerah yang akan dibangun tentu saja semakin membuat investor berhati-hati. Hal ini kontra produktif, karena kebutuhan listrik di wilayah timur sangat tinggi khususnya untuk meningkatkan dunia usaha dan perekonomian. Dirinya menekankan dengan kurangnya insentif maka akan membuat target pemerintah untuk mencapai bauran energi 23% pada tahun 2025 akan semakin berat. "Apalagi kinerja sektor EBT bergerak negatif. Padahal, porsi EBT di negara-negara lain meningkat tajam," paparnya.