KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha penambang pasir kuarsa resah karena beberapa kesempatan mereka dipersulit untuk mendapatkan izin pertambangan dari pemerintah daerah. Adapun masalah yang terjadi berbeda di tiap-tiap wilayah. Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari menjelaskan, hampir semua daerah di Indonesia punya permasalahan, tapi kasusnya berbeda-beda. Misalnya, di Kepulauan Riau (Kepri) permasalahan utama yang dikeluhkan pengusaha soal proses pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan hutan. Hal ini terjadi pada salah satu perusahaan yakni PT Zamrud Ekuator Resources (ZER).
Pada kasus ZER, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kepri mensyaratkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian persetujuan peningkatan IUP dari tahap eksplorasi ke tahap operasi produksi.
Baca Juga: MIND ID Ingin Jadi Pemegang Saham Mayoritas Vale Indonesia (INCO) Sedangkan pada saat pengurusan PPKH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mensyaratkan IUP. “Masalah ini membuat kami bingung dengan aturannya,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (31/10). HIPKI sempat melayangkan somasi pada DPMPTSP Kepri untuk segera merilis IUP tersebut. Tidak lama berselang, perizinan pun akhirnya disetujui. Di wilayah lain, pengusaha kuarsa di Kalimantan Timur dibatasi dalam pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) maksimal 100 hektar. Padahal, aturannya boleh maksimal 25.000 Ha. Sementara di Kalimantan Barat, pengajuan WIUP dilakukan secara
offline sehingga pengusaha luar harus membawa berkas secara fisik. “Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan Timur. Pengajuan WIUP masih
offline. Sampai hari ini belum ada 1 pun perusahaan yang sampai pada tahap operasi produksi,” terangnya. Melihat persoalan ini tercermin bahwa aturan perizinan pertambangan kuarsa berbeda di tiap daerah karena masing-masing dinas memiliki ego sektoral. Ady menjelaskan, pendelegasian kewenangan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan, khususnya komoditas pasir kuarsa memang diberikan dari pusat ke daerah. Namun cara ini bukannya memudahkan urusan perizinan, tapi malah menyulitkan. Bayangkan, sejak pendelegasian dari pusat ke daerah berdasarkan Perpres No. 55 Tahun 2022 sekitar 1,5 tahun lalu, di Kepri baru 2 IUP Operasi Produksi yang diterbitkan oleh DMPTSP Kepri. Ady menilai, ini akibat tidak adanya keseragaman penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pusat.
Baca Juga: Bumi Resources Minerals (BRMS) Kantongi Pendapatan US$ 32,74 juta di Kaurtal III-2023 Menurutnya, dengan penerapan NPSK yang berbeda, kesiapan sektor hulu bisa jadi hambatan dalam mensukseskan program hilirisasi yang belakangan digaungkan oleh pemerintah.
"Apa yang mau kita hilirisasi? Izinnya saja belum beres di daerah. Makanya, kami minta pusat segera turun tangan benahi perizinan di daerah. Kalau perlu, tarik kembali kewenangan yang didelegasikan kepada pemerintah provinsi itu," ujarnya. HIPKI berharap, setelah ditetapkannya kuarsa sebagai mineral kritis, perizinan bisa ditarik ke pusat supaya lebih terukur dengan menimbang manfaat jangka panjang. Sejauh ini, permasalahan yang terjadi di sektor kuarsa memang baru seputar kesulitan mendapatkan izin pertambangan. Untuk persetujuan ekspor, relatif lancar karena belum banyak perusahaan yang memiliki IUP Operasi Produksi. Pasalnya, salah satu syarat mengurus persetujuan ekspor harus mengantongi IUP Operasi Produksi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi