JAKARTA. Kalangan pengusaha batubara kembali berkeluh kesah. Pasalnya, di saat harga jual komoditas masih lesu, pemerintah justru semakin mempersulit kondisi pengusaha dengan memberi pungutan pajak bea ekspor. Hal ini, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.10/2015 terkait perubahan keempat PMK Nomor 154/2010 tentang pungutan pajak penghasilan pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan dan kegiatan di bidang impor atau bidang lainnya. Beleid anyar tersebut memuat tarif pajak penghasilan atas ekspor batubara, mineral logam, dan mineral non logam dibebankan sebesar 1,5% dari nilai ekspor. Beleid anyar yang dirilis pemerintah pada awal Juni lalu akan berlaku efektif mulai 8 Agustus mendatang.
Pandu P Sjahrir, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, kebijakan ini tentu semakin mempersulit pengusaha untuk dapat bertahan karena kendala penurunan harga jual masih berlangsung sampai saat ini. "Ini akan menjadi tambahan ongkos kepada industri yang sedang masuk masa sulit, sehingga akan semakin banyak perusahaan yang mengalami kesulitan," kata dia ke KONTAN, Rabu (1/7). Beleid ini akan berlaku hanya untuk pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Sedangkan untuk pengusaha tambang pemegang konsesi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dan kontrak karya (KK) tidak terkena kewajiban ini. Pandu mengatakan, meskipun pemerintah menggunakan pos pajak penghasilan pasal 22 dalam PMK Nomor 107/2015, namun sejatinya hal tersebut merupakan bea keluar yang dibebankan pengusaha untuk setiap penjualan ke pasar ekspor. "Kami harap ada pemerintah melakukan penilaian ulang bea keluar bagi IUP dengan tarif 1,5%," ujar Pandu. Parahnya, kebijakan tersebut juga hanya berlaku untuk IUP dan dikecualikan untuk PKP2B. Padahal, sebelumnya pungutan bea kelar batubara sudah pernah diterapkan pemerintah dan diprotes pengusaha, dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Waskito Tanuwijoyo, GM Exploration PT Bhakti Coal Resources mengatakan, pengusaha tambang akan menderita pungutan ganda dengan kebijakan baru tersebut. "Selain bea keluar 1,5%, kami juga membayar pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 25%, jadi akan semakin menyulitkan pengusaha," kata dia. Saat ini saja, perusahaannya tengah melakukan berbagai upaya efesiensi dan pengurangan produksi karena anjloknya harga jual batubara. Bhakti Coal menurunkan produksi hingga 1 juta ton, atau jauh dibandingkan tahun lalu sekitar 2 juta ton.
"Saya melihat target penerimaan pajak pemerintah terlalu tinggi pada tahun ini, sehingga hampir seluruh tarif pajak dinaikkan. Tapi, kebijakan ini justru akan membuat kinerja pengusaha turun dan target pajak pemerintah sulit tercapai," kata Waskito. Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengatakan, pungutan bea keluar dan rencana kenaikan royalti batubara akan semakin memperburuk kondisi industri tambang batubara dan akan semakin banyak perusahaan yang gulung tikar. Dampak terburuknya, target produksi batubara nasional yang dipatok 425 juta ton akan sulit tercapai. "Lebih baik pemerintah melakukan pembatasan ekspor dan mendorong pemakaian batubara dalam negeri, daripada memungut bea keluar di saat industri yang sedang terpuruk," ujar dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia