Pengusaha tolak kenaikan royalti nikel hingga 100%



JAKARTA. Sudah jatuh tertimpa tangga! Inilah gambaran yang diungkapkan pengusaha nikel di dalam negeri. Setelah pemerintah melarang kegiatan ekspor mineral mentah (ore) dan diminta membangun pabrik pemurnian (smelter), pemerintah kini berencana mengerek tarif royalti bijih nikel hingga dua kali lipat.

Dalam revisi peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 mengenai Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menaikkan royalti bijih nikel dari semula 5% dari harga jual menjadi  menjadi 10%.

Rosano Fattah, Legal Corporate PT Ifishdeco mengatakan, pihaknya sangat keberatan dengan rencana kenaikan tarif royalti bijih nikel.  Pasalnya, pungutan bukan pajak yang naik hingga 100% ini berpotensi membuat komponen biaya produksi semakin membengkak. Ini akan berpengaruh pada nilai keekonomian proyek smelter.


Padahal, tarif royalti yang ada di PP Nomor 9/2012 menjadi pijakan perusahaannya dalam kajian pembangunan smelter. "Pembelian bijih nikel dari tambang sekitar pabrik pasti akan naik dan memerlukan biaya besar untuk pembelian bahan baku. Belum lagi ditambah komponen lain seperti upah tenaga kerja, dan ongkos angkut," kata dia ke pada KONTAN, Rabu (10/9).

Ifishdeco lewat anak usahanya, PT Bintang Smelter Indonesia akan membangun smelter nickel pig iron (NPI) di Sulawesi Tenggara dengan investasi US$ 100 juta. Kapasitas produksi pabrik yang akan beroperasi pada 2016 tersebut mencapai 100.000 ton NPI per tahun, atau dengan kebutuhan sekitar 500.000 ton bijih nikel per tahun.

Rosano menyebut, sebagian besar pasokan bijih nikel akan disuplai dari tambang sendiri, sedangkan sisanya dari tambang sekitar pabrik. "Pemerintah mesti mengkaji ulang rencana kenaikan tarif ini, jangan sampai mengganggu rencana masuknya investor yang mau datang membangun pabrik," kata dia.

Andi M Aminuddin, Direktur Utama PT Bhineka Sekarsa Adidaya menambahkan, naiknya tarif royalti bijih nikel tentu akan mengancam keberlangsungan penambang kecil yang tidak mampu membangun smelter sendiri. Selain itu,  penambang kecil akan kesulitan bersaing dalam menjual produk bijih nikelnya karena harga jual yang lebih mahal, plus ongkos pengangkutan dari tambang ke pabrik.

Dengan begitu, hanya perusahaan besar yang bisa mengintegrasikan tambang dan smelternya yang dapat beroperasi. "Smelter NPI yang kami bangun, akan juga membeli bijih nikel dari teman-teman penambang lain. Tapi, kalau biaya tinggi tentu kami akan kesulitan membeli bahan baku," kata Andi.

Bhineka Sekarsa akan membangun smelter NPI dengan kapasitas produksi 70.000 ton per tahun. Adapun kebutuhan bijih nikel untuk pabrik tersebut mencapai 400.000 ton, yang sebagian besarnya akan disuplai dari sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) lainnya.

Selain itu, hal yang menyesakkan penambang nikel skala kecil adalah, pemerintah malah berencana menurunkan tarif royalti nikel matte yang dihasilkan PT Vale Indonesia dari sebelumnya 4% menjadi 2% atas harga jual. "Pemerintah harusnya tidak diskriminasi ke pengusaha," kata Mag Faizal Emzita, Member of Board Director Asosisasi Nikel Indonesia (ANI).

Menanggapi ini, Sukhyar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, pemerintah yakin kenaikan tarif tidak akan berdampak negatif bagi usaha penambang kecil. "Dulu saja ketika pemerintah menerapkan bea keluar sebesar 20%, mereka masih sanggup beroperasi," kata Sukhyar di kantornya, Rabu (10/9).

Dia memaparkan, kebijakan itu masih dalam pembahasan di internal kementerian dan akan segera di bawa untuk pembahasan lintas sektoral  yang akan dituangkan dalam revisi PP Nomor 9/2012. "Kalau Nikel Matte kenapa turun jadi 2% karena harga jualnya kurang ekonomis," kilah Sukhyar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto