Penjaga warisan kuliner nusantara



KONTAN.CO.ID - Tak banyak orang yang mau keluar dari zona aman untuk kemudian masuk ke wilayah di mana dia harus memulai sesuatu dari nol lagi. Salah satu orang yang berani mengambil jalan tersebut adalah Febriyanto Rachmat.

Lelaki kelahiran Jakarta, 10 Februari 1973 rela ini melepas jabatannya sebagai sales area manager wilayah Sumatra Selatan Bentoel Group untuk berbisnis. Dan, pilihannya kelak enggak salah, meskipun dia harus berulang kali gagal dulu.

Kini, berkibar dengan bendera Jakarta Innovative & Interactive Solution Communications (JIISComm), usaha event organizer (EO) festival kuliner nusantara milik Febriyanto bisa mendulang omzet Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per bulan. Jumlah pengusaha kuliner khas lokal yang menjadi mitra tetapnya kini mencapai 300 orang.


Tentu, perjuangan untuk bisa meraih itu semua tidak mudah. Sambil kuliah di Jurusan Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, Febriyanto menyambi kerja di sebuah perusahaan tas sebagai pemasar alias sales.

Setelah lulus kuliah pada 1996 silam, dia sempat bekerja di SCTV dan FremantleMedia, sebelum memutuskan bergabung dengan HM Sampoerna di 1997.

Lima tahun berkarier di HM Sampoerna, ia pindah ke Bentoel Group. Tapi, Febriyanto hanya bertahan setahun dan memutuskan untuk berwirausaha, dengan posisi terakhir sebagai sales area manager untuk wilayah Sumatra Selatan. “Saya merasa jenuh dengan rutinitas yang dijalani,” katanya.

Dan, kalau terus melanjutkan karier sebagai karyawan, menurut Febriyanto, kehidupan dirinya tidak bisa lebih maju. Padahal sejatinya, pasca berhenti jadi karyawan, dia juga belum tahu mau berbisnis apa.

Alhasil, ia pun mencoba berbagai jenis usaha, mulai persewaan atawa rental mobil hingga jualan di kaki lima. Namun, itu tidak bertahan lama, hanya setahun.

Kemudian, dia tertarik berbisnis EO dan mendirikan JIISComm, tetapi waktu itu belum fokus ke kuliner. Lagi-lagi, perkembangan bisnisnya tak sesuai harapan. Febriyanto pun memutuskan untuk mengadu nasib di negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. “Bisa dikatakan, saat itu JIISComm mati suri,” ujarnya.

Membangkitkan EO

Selama merantau, ia bekerja serabutan termasuk mencuci piring di restoran. Tapi, bermodal keuletan dan semangat yang tinggi, Febriyanto berhasil mengumpulkan banyak uang selama bekerja di perantauan.

Pada 2008, dia kembali ke Jakarta dan memulai usaha baru: produksi aksesori berbahan resin. Tenaga kerjanya ia datangkan dari Madura dan Bali. “Sempat buka workshop dan toko di daerah Mangga Dua,” ungkapnya. Apes, kalah bersaing dengan produk-produk asal China, usaha Febriyanto bangkrut di 2010 lalu.

Lalu, ia mencoba peruntungan bisnis batubara, dengan menginvestasikan sisa uang di perusahaan milik rekannya. Lagi-lagi, dia tak beruntung.

Harga batubara jatuh, dan bisnis temannya ambruk. “Untuk mencukupi kebutuhan bulanan keluarga, saya sampai harus jual mobil,” imbuhnya

Tapi, Febriyanto tidak patah arang. Dia masih punya JIISComm yang sedang mati suri.

Lantas, ia pun membangkitkan lagi usaha EO-nya pada tahun 2011. “Semua saya mulai lagi sendirian, dari bikin pamflet, menawarkan langsung, hingga naik angkutan umum jadi keseharian yang harus saya lakukan,” kenangnya.

Usahanya tidak sia-sia. Berhasil mendapatkan kepercayaan mengelola sebuah tempat di Pasar Festival, Jakarta, Febriyanto pun habis-habisan memanfaatkan peluang itu.

Hasilnya, acara yang dia gelar ketika itu terbilang sukses. Dia mulai memperoleh uang untuk modal plus jalur perkenalan dengan banyak pihak.

Meski begitu, tetap saja ada ujian yang harus dia lakoni. Menjelang acara di Pasar Festival usai, ia dan istri terkena musibah karena uang mereka dirampok. “Untung masih ada uang cadangan,” ujarnya.

Pasca event di Pasar Festival, Febriyanto memperoleh tawaran untuk mengelola pujasera atau food court. Setahun kemudian, ia dapat kepercayaan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk mengadakan festival kuliner dalam rangka peluncuran uang elektronik Brizzi.

Dari situ, dia mulai fokus menggeluti bisnis EO festival makanan. Sebetulnya, sudah banyak penyelenggara festival makanan tapi belum ada yang fokus ke kuliner nusantara. Akhirnya, EO milik Febriyanto khusus menggelar festival masakan asli Indonesia.

Memang, tantangannya lebih berat lantaran harus mengumpulkan berbagai makanan dan minuman khas lokal dari penjuru nusantara. Mau tidak mau, ia harus bekerja keras, mulai mencari informasi di dunia maya hingga mendatangi langsung ke daerah-daerah.

Untuk itu, dia membentuk tim khusus untuk melakukan survei sekaligus mencicipi citarasa dari calon mitra yang bakal jadi peserta festival kuliner. Kalau enggak enak walaupun unik, tidak lulus seleksi.

Selain itu, Febriyanto menuturkan, karena bisnis EO sebenarnya adalah menawarkan konsep, maka ketika awal memulai usaha ini juga tidak mudah. Seringkali, konsep yang ia tawarkan dipandang kurang menjual.

Tapi, itu tak membuatnya kecil hati. “Malah kritik itu membikin saya jadi lebih kuat secara mental,” tegasnya.

Seiring waktu berjalan, bisnis EO miliknya terus berkembang. Nama JISSComm mulai naik pamor ketika berhasil bekerjasama dengan Mal Ciputra, Jakarta, dalam festival kuliner bertajuk Kampoeng Legenda.

Saat itu, Febriyanto berhasil mendatangkan 94 pemilik kedai yang memiliki kekhasan di daerahnya masing-masing. Mulai Sate Babi Bawah Pohon dari Bali hingga Es Cong Lik asal Semarang. “Selama 12 hari, omzetnya mencapai Rp 8 miliar,” kata Febriyanto bangga.

Sejak itu, tawaran dari pengelola pusat perbelanjaan untuk menggelar festival makanan mengalir ke JISSComm. Dan, permintaannya ialah menyelenggarakan acara yang signature. Maksudnya, khas dan bisa diadakan setiap tahun.

Ikon kuliner nusantara

Mulai 2017, nama JIISComm berkibar sebagai ikon penyelenggara festival kuliner nusantara. JIISComm pun kini memiliki slogan: Beragam Rasa, Satu Selera dan Satu Indonesia.

Dalam setahun, JISSComm rata-rata mengadakan 24 acara kuliner nusantara. Mereka telah menjalin kongsi dengan sejumlah pusat perbelanjaan terkemuka, seperti Mal Ciputra, Margocity, dan Central Park.

Kalau dulu, Febriyanto yang kerja keras menawarkan konsep ke calon mitra. Kini, JIISComm tinggal menunggu penawaran yang datang. “Semua memang butuh proses, tidak bisa instan,” ungkapnya.

Tahun ini, Febriyanto sedang menyiapkan agenda besar, yakni Jelajah Kuliner Bintang dan Jajanan Kaki Lima (Jakima). Nantinya, ajang ini mengumpulkan seluruh kuliner lokal, dari Sabang sampai Merauke. “Kami ingin Jakima menjadi ikon layaknya Indonesia International Motor Show (IIMS) untuk pameran mobil,” imbuh dia.

Untuk menjalankan acara besar itu, ia dan timnya melakukan roadshow dan survei selama setahun. Targetnya, tidak hanya terlengkap dari sisi varian masakan, juga menyajikan citarasa yang nikmat.

Febriyanto juga memiliki perhatian tinggi kepada para pelaku usaha kuliner yang jadi mitranya. Bagi yang memang layak dibantu, maka JISSCom akan memberikan bantuan modal Rp 100 juta. Tapi, mereka harus mau di-mentoring dan diarahkan oleh tim JIISComm agar bisa lebih sukses lagi.

Atas sepak terjangnya itu, JIISComm pun mendapat perhatian dari pemerintah lewat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Mereka mengapresiasi upaya Febriyanto yang dinilai sudah berkontribusi hingga 60% dalam mempromosikan dan melestarikan berbagai warisan kuliner khas nusantara.

Bagi Febriyanto, apa yang dia lakukan bersama tim merupakan sebuah kebanggaan. Sebab, ikut serta dalam upaya menjaga dan melestarikan kuliner nusantara yang khas.

Ia membayangkan, kalau masakan-masakan ini tidak diselamatkan, maka generasi anak-anak sekarang dan yang akan datang tak akan bisa menikmati lagi.

Terlebih, kalau kuliner khas lokal dibiarkan, maka bermacam makanan cepat saji dari luar negeri yang akan terus mendominasi tempat makan di berbagai mal seluruh Indonesia. Oleh karena itu, JIISComm hadir dengan membawa masakan nusantara ke pusat-pusat nongkrong anak zaman now.

Ke depan, Febriyanto juga terus berupaya menggali jenis masakan nusantara yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Harapannya, ia bisa memiliki database lengkap dan akurat.

Kita dukung 1.000%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan