Penjualan apartemen di daerah tak secerah Jakarta



JAKARTA. Gaya hidup bukanlah satu-satunya alasan yang membuat pasokan apartemen di Jakarta terserap pasar. Kemacetan, defisit lahan kosong yang murah serta tawaran fasilitas integral dalam satu kawasan menjadi pemicu hunian vertikal diminati pembeli.

Lantas, bagaimana dengan daerah? Ternyata, masih terlalu dini berasumsi bahwa tren di Jakarta bakal terjadi di kota-kota lainnya di daerah. Sejatinya, properti merupakan sektor industri yang bersifat lokal.

Properti tidak bisa dipengaruhi oleh satu variabel atau indikator general. Misalnya lokasi semata, atau konsep semata. Namun juga bagaimana sentimen pasar terhadap kehadiran properti tersebut.


Demikian rangkuman beberapa pendapat para praktisi sektor properti di dua kota yakni Surabaya dan Balikpapan. Menurut anggota Broker ERA Tjandra Surabaya Daniel Sunyoto, pasar Surabaya butuh waktu sangat lama untuk menyerap apartemen-apartemen yang ditawarkan pengembang. Apartemen Ciputra World Surabaya (CWS) dilirik pasar karena faktor pusat belanjanya.

"Penjualan baru mengalami peningkatan signifikan pasca beroperasinya pusat belanja CWS. Sebelum itu, penjualan tidak sekencang saat ini," ujar Daniel seraya menambahkan bahwa harga jualnya pun tidak mengalami kenaikan berarti.

Tower 1 CWS dipatok seharga Rp 15 juta per meter persegi. Sementara Tower 2 dibanderol Rp 20 juta/m2. Padahal, pengembangan hunian jangkung sudah marakdi kota terbesar kedua ini sejak 1994, yang diawali PT Surya Makarya Binangun melalui apartemen Adistana di kawasan Ngagel.

Kemudian Graha Famili (Intiland Development), Puncak Marina (Trijaya Kartika), Paragon (Sekawan Bhakti Intiland) dan lain lain. Menyusul kemudian Taman Beverly (Surabaya Land, Lippo, Mayapada) di Darmo Permai, Puri Matahari (Prasidha Inti Jaya) dan Puri Darmo (Prima Castle).

Sementara itu, pasar di Balikpapan belum terlalu antusias. Hal ini mengingat pasok landed housing dengan tawaran harga bersaing masih jauh lebih banyak. Anggota broker ERA Property Center Balikpapan Yan Primadi mengatakan, tersendatnya penjualan apartemen karena masalah regulasi (Perda mengenai properti strata title) yang belum diimplementasikan dengan baik.

"Calon konsumen masih ragu, karena selama ini mereka bisa membeli apartemen melalui cicilan (kredit) kepada pengembang. Kalau pun terjual, pembelinya pasti kebingungan, mereka menyewakan kepada siapa? ekspatriat justru lebih menyukai landed house berukuran besar. Sementara profesional lainnya biasanya mendapatkan fasilitas rumah dinas dari perusahaannya (pasar korporat)," tutur Yan kepada KOMPAS.com, Selasa (6/5).

Kasus Grand Sudirman termasuk yang laris pada awal pemasaran. Menurut Yan, tak lebih karena perilaku "latah" mengikuti tren yang terjadi di Jakarta.

"Dia bisa laris karena Grand Sudirman merupakan apartemen pertama dan juga konsumennya adalah investor yang membeli lebih dari dua atau lima unit. Mereka ini berekspektasi tinggi akan yield dari tersewanya unit-unit yang mereka borong," ujarnya.

Berbeda dengan pasar perumahan, lanjut Yan, di Balikpapan pasar masih menunjukkan antusiasme positif. Terutama terhadap rumah seharga Rp 500 juta - Rp 1,5 miliar. Mereka berasal dari pembeli individual maupun korporat. Jumlahnya terus bertambah seiring sektor industri, perdagangan komoditas dan tambang yang menyerap banyak tenaga kerja. (Hilda B Alexander/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri