Penjualan ban terpapar lesunya daya beli dan impor



JAKARTA. Tren penjualan ban nasional masih sulit menggenlinding kencang. Beruntung, penjualan ban tidak oleng. Namun hingga kini, industri ban nasional masih berjuang melawan kondisi ekonomi dan gempuran ban impor.

Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) menyimpulkan, industri ban hingga kuartal I tahun ini bisa dikatakan masih lesu. 

Aziz Pane, Ketua Umum APBI menjelaskan, lesunya penjualan ban masih karena daya beli masyarakat yang rendah yang bisa terlihat dari tren penjualan otomotif.


"Tren memang sedikit membaik. Tapi, kami punya kesimpulan penjualan ban masih lesu," terang Aziz kepada KONTAN, Senin (25/4).

Aziz juga menggambarkan, saat ini penggantian ban otomotif oleh konsumen semakin jauh jaraknya. Dia bercerita, rata-rata orang mengganti ban kendaraan mereka per 1,7 tahun sekali dan kini sudah menjadi 3 tahun sekali.

Hal tersebut kembali lagi pada keadaan ekonomi yang membuat terganggunya pendapatan masyarakat. "Akibatnya, mereka juga jadi mengurangi jalan sehingga mempengaruhi pembelian ban," imbuh Aziz.

Namun Aziz belum bisa menyampaikan data terkini penjualan ban nasional. "Saya belum punya datanya. Yang jelas, penjualan ban masih lesu," kata dia.

Meski begitu, Aziz menilai, tren penjualan ban pada kuartal II ini mulai terlihat meningkat walaupun masih belum sesuai harapan. Kondisi ini terkait dengan jangka waktu penggantian ban yang belum diganti sampai 3 tahun.

Sejauh ini, Aziz mengungkapkan, penjualan ban masih banyak mengalir ke ekspor dengan persentase sebanyak 75%, sementara domestik hanya 15%. "Di domestik sendiri, penjualan lebih banyak ke after market. Kalau penjualan ke pabrikan cuma berkisar 10%," ungkapnya.

Ban Impor

Kelesuan penjualan ban saat ekonomi belum mendukung diperparah dengan serbuan ban-ban impor. Bahkan, banyak ban impor yang masuk diberi harga murah tapi jauh dari standar.

Keberadaan impor ban semakin meraja rela setelah dollar Amerika Serikat melemah. "Karena dollar rendah, impor ban semakin banyak masuk," tutur Aziz.

Untungnya, kata Aziz, saat ini Indonesia sudah memiliki petunjuk tertulis soal teknis SNI ban. Dukungan itu pun dilengkapi dengan pergantian Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan.

"Ini kami harapkan bisa membereskan ban ilegal/murahan yang dilempar ke Indonesia. Sejauh ini, pemerintah sudah mengerti dan ini jadi peluang baru," kata Aziz.

Aziz menyampaikan, kapasitas produksi ban nasional saat ini berkisar 40 juta ban atau turun dari 66 juta ban. Dari jumlah itu, ban motor impor mencapai 30% sementara ban mobil impor berkisar 15%-20%. Sebagian besar impor ban itu berasal dari India dan China.

Aziz kembali mengingatkan pemerintah untuk bertindak tegas soal impor ban murah, terutama melalui penerapan SNI. "Yang sudah tegas itu di Jawa Tengah. Barang yang tidak SNI dilarang beredar. Kami harapkan diikuti daerah lain," jelasnya.

Uthan A. Sadikin, Direktur Pemasaran PT Multistrada Arah Sarana Tbk menyampaikan, semua impor ban harus berlabel SNI. Dan sejauh ini, kata Uthan, untuk ban PCR mestinya aman-aman saja. "Tetapi ban-ban untuk truk dan bus mungkin ada dan itu menjadi kewajiban departemen perdagangan melakukan pengawasan. Karena dari perindustrian standar SNI sudah jelas," ucap Uthan.

Dengan begitu, Uthan berpendapat, jenis ban untuk truk dan bus jadi yang paling terdampak impor. Di Multistrada, Uthan bilang, jenis ban untuk truk dan bus baru dimulai dan belum banyak produk yang diproduksi.

Sayang, Uthan belum bisa menyampaikan hasil penjualan ban Multistrada di kuartal I. Uthan bilang, pihaknya baru bisa memaparkan hasil penjualan pada Minggu depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan