KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Summarecon Agung Tbk (
SMRA) fokus meluncurkan proyek
township hingga pusat perbelanjaan. Proyek-proyek baru tersebut diharapkan menambah pundi-pundi pemasukan. Pasalnya, tahun ini SMRA minim meluncurkan produk baru. Sehingga
marketing sales atau pendapatan pra penjualan hingga kuartal ketiga 2022 kurang memuaskan.
Marketing sales SMRA per September 2022 tercatat sebesar Rp 3,49 triliun atau tumbuh tipis 1,5% secara
year-on-year (YoY). Jika dibandingkan rekan-rekan lainnya, pertumbuhan
marketing sales SMRA merupakan yang paling rendah.
PT Ciputra Development Tbk (
CTRA), PT Pakuwon Jati Tbk (
PWON), dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (
BSDE) masing-masing berhasil mencetak pertumbuhan sebesar 30,4%, 16,3% dan 10,6% YoY.
Baca Juga: Hingga Kuartal III, Summarecon Agung (SMRA) Catat Marketing Sales Rp 3,5 Triliun Analis Sucor Sekuritas Benyamin Mikael menyebutkan, salah satu pemicu kurang bergairahnya penjualan SMRA karena adanya produk baru yang batal diluncurkan. Dalam riset tanggal 11 Oktober 2022, Benyamin mengatakan bahwa proyek Summarecon Bogor batal memperkenalkan unit baru di kawasan tersebut yang rencananya dilakukan pada rentang Agustus hingga September. Awalnya, SMRA membidik penjualan dari Summarecon Bogor bisa mencapai Rp 900 miliar tahun ini. Namun, Summarecon hanya berhasil mengamankan sekitar Rp 150 miliar hingga kuartal ketiga 2022. "Kami memperkirakan
marketing sales SMRA sebesar Rp 5,1 triliun. Nilai itu sedikit lebih rendah senilai 3% yoy, jauh dari perkiraan awal Rp 5,5 triliun," tulis Benyamin dalam riset. Namun, saat ini SMRA mengalihkan fokusnya pada peluncuran
township yaitu Summarecon Crown Gading (SCG) yang dirilis tanggal 12 November 2022. Summarecon Crown Gading menjadi proyek
township kedelapan yang merupakan
joint venture (JV) antara SMRA dan Duta Putra Land, terletak di area Kelapa Gading seluas 437 hektare (ha).
Baca Juga: Penjualan Perdana Summarecon Crown Gading Berlangsung Sukses, 390 unit Ludes 6 Jam Emiten properti ini akan meluncurkan dua kluster perumahan dalam SCG dengan rentang harga jual rata-rata atau
average selling price (ASP) dari Rp 925 juta sampai Rp 5,9 miliar per unit. Summarecon berniat mengamankan
marketing sales sebesar Rp 800 miliar dari SCG. Ada juga unit potensial lainnya akan diluncurkan, dengan asumsi minat cukup tinggi ditunjukkan dari proyek tersebut. Dari lini bisnis lainnya, Analis Henan Putihrai Sekuritas Jono Syafei mencermati ekspansi SMRA yang menciptakan sumber pendapatan berulang dari pembukaan pusat perbelanjaan. "SMRA berencana membuka dua pusat perbelanjaan baru yakni Summarecon Villagio Jakarta Luxury Outlet (Karawang) & Summarecon Mall Bandung yang diharapkan dapat beroperasi masing-masing pada kuartal pertama 2023 dan kuartal keempat 2023," kata Jono saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (15/11). Jono bilang, ekspansi ini seiring hasil pendapatan berulang dari proyek
existing SMRA. Summarecon Agung mencetak pendapatan sebesar Rp 4,21 triliun dengan laba bersih Rp 309,68 miliar dalam periode Januari-September. Secara kumulatif, pendapatan SMRA tumbuh 11,1% YoY menjadi Rp 4,21 triliun terutama karena pendapatan berulang yang naik tinggi 63,6% YoY, menyusul trafik mal Summarecon yang lebih tinggi.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Properti CTRA, SMRA, dan APLN dari Ajaib Sekuritas Analis JP Morgan Henry Wibowo dalam riset tanggal 1 November mengatakan bahwa prospek pertumbuhan SMRA cukup sulit karena dihadapkan oleh berbagai tantangan. Sektor properti bakal dibayangi tren suku bunga tinggi, depresiasi rupiah, dan tidak ada lagi insentif dari pemerintah. "Kami yakini hal itu akan menghambat selera pembeli properti. Prospek pra-penjualan bakal sulit di tahun 2023," imbuh Henry dalam riset tanggal 1 November 2022. Henry menilai sikap hawkish The Fed masih akan berlanjut dengan proyeksi suku bunga 4,75% pada awal tahun 2023. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) pun diperkirakan akan mengikuti tren yang sama dengan posisi suku bunga di level 5,75% pada kuartal pertama 2023. Hal ini kemungkinan akan menciptakan kondisi suku bunga KPR tinggi, sehingga akan memengaruhi permintaan untuk membeli properti. Pada akhirnya, juga berdampak pada peningkatan biaya pinjaman untuk pengembang properti. Di sisi lain, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) telah berakhir di bulan September. Insentif Loan to Value (LTV) akan berakhir pada Desember.
Baca Juga: Summarecon Agung Terus Ekspansi, Begini Rekomendasi Saham SMRA JP Morgan meyakini tidak ada lagi insentif yang diberikan di tengah kenaikan suku bunga, sehingga berdampak negatif untuk pertumbuhan. Selain itu, segmen kelas bawah kemungkinan besar bakal menunda rencana pembelian rumah dalam kondisi inflasi saat ini. Segmen kelas atas, yang biasanya membeli properti untuk investasi, kemungkinan mempertimbangkan aset alternatif dengan profil return yang lebih baik. Dengan demikian, pertumbuhan pra-penjualan diprediksi lebih lambat di tengah sentimen negatif untuk sektor properti termasuk SMRA.
Henry memprediksi pendapatan SMRA tahun ini sebesar Rp 5,24 triliun dengan laba bersih Rp 394 miliar. Proyeksi pendapatan SMRA turun dari target awal sebesar 12% namun laba bersih naik 9% dari target awal. JP Morgan menyematkan peringkat menjadi
underweight dari
overweight saham SMRA dengan target harga Rp 510 per saham. Jono merekomendasikan beli saham SMRA dengan target harga Rp 850 per saham. Target tersebut turun dari proyeksi sebelumnya sebesar Rp 1.100 per saham. Senada, Benyamin merekomendasikan beli saham SMRA namun dengan target harga lebih rendah Rp 930 per saham. Harga saham SMRA pada Selasa (15/11) berada di posisi Rp 560 per saham atau ditutup melemah 1,75% dari perdagangan hari sebelumnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati