JAKARTA. Penjualan hasil produksi enam perusahaan pengolahan susu olahan di dalam negeri pada tahun 2012 diperkirakan akan mencapai Rp 33,1 triliun. Angka penjualan itu mengalami peningkatan 7% dari tahun lalu. Syahlan Siregar, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS) mencatat, peningkatan penjualan susu terjadi karena beberapa faktor seperti angka kelahiran bayi dan kesejahteraan masyarakat yang meningkat. "Tanpa promosi pun pertumbuhan penjualan naturalnya mencapai sekitar 2,5%," tutur Syahlan, di sela-sela pertemuan industri makanan dan minuman, Jumat (24/2). Syahlan mengatakan angka penjualan itu diperoleh dari enam perusahaan pengolahan susu yang tergabung dalam Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS). Mereka adalah PT Nestle Indonesia, PT Frisian Flag Indonesia, PT Sari Husada, PT Indomilk, PT Ultrajaya dan PT Indolakto. Menurut Syahlan, sebagian besar bahan baku susu segar bagi industri pengolahan susu diperoleh melalui impor dari berbagai negara salah satunya Australia. Total bahan baku yang diimpor mencapai 70% dari total kebutuhan bahan baku di dalam negeri. Bahan baku susu segar di dalam negeri sendiri sepenuhnya diserap oleh industri pengolahan. Karena sebagian besar bahan baku susu diimpor, maka industri pengolahan susu sangat terpengaruh dengan fluktuasi nilai mata uang Dollar dan Euro. Jika mata uang asing itu mengalami kenaikan maka biaya produksi industri pengolahan susu pun melesat. Susu segar itu kemudian diolah menjadi susu bubuk, susu cair atau susu kental manis. PT Ultrajaya misalnya mengolah semuanya menjadi susu cair dan Nestle mengolahnya menjadi susu bubuk. Sementara Indomilk mengolahnya menjadi susu bubuk, susu cair dan susu kental manis. Daya saing industri pengolahan susu, juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya terkait kenaikan upah minimum di atas tingkat inflasi. Sedangkan, perusahaan susah untuk menaikan harga produk yang dijual ke konsumen. Selain itu, perusahaan pengolahan semestinya bisa melakukan penghematan jika menggunakan bahan bakar gas. Sayangnya sumber energi itu belum tersedia sehingga semua industri menggunakan bahan bakar solar. Padahal perbandingannya satu liter solar industri seharga Rp 8.900, jika diganti dengan gas hanya memakan biaya Rp 2.900 atau Rp 3.000. Menanggapi keluhan dari industri pengolahan susu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan kebutuhan gas bagi industri di dalam negeri memang belum mencukupi. Dari total kebutuhan sebanyak 3.000 Mmscfd baru terpenuhi kurang dari 1.000 Mmscfd. "Pemenuhan pasokan gas bagi industri harus menunggu selama dua tahun sampai infrastruktur pendukung terbangun," kata Hidayat. Di sisi lain, pemerintah juga mencari solusi lain sambil menunggu infrastruktur terminal gas terbangun. Salah satunya dengan mencari investor yang mau membangun terminal gas mobile atau bisa berpindah-pindah. Pemerintah juga berusaha melakukan renegosiasi penjualan gas ke Singapura. Selama ini, menurutnya Singapura bisa makmur karena suplai gas dari Indonesia. Ironisnya, industri di Indonesia justru kekurangan gas.
Penjualan produk 6 perusahaan susu Rp 33,1 triliun
JAKARTA. Penjualan hasil produksi enam perusahaan pengolahan susu olahan di dalam negeri pada tahun 2012 diperkirakan akan mencapai Rp 33,1 triliun. Angka penjualan itu mengalami peningkatan 7% dari tahun lalu. Syahlan Siregar, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS) mencatat, peningkatan penjualan susu terjadi karena beberapa faktor seperti angka kelahiran bayi dan kesejahteraan masyarakat yang meningkat. "Tanpa promosi pun pertumbuhan penjualan naturalnya mencapai sekitar 2,5%," tutur Syahlan, di sela-sela pertemuan industri makanan dan minuman, Jumat (24/2). Syahlan mengatakan angka penjualan itu diperoleh dari enam perusahaan pengolahan susu yang tergabung dalam Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS). Mereka adalah PT Nestle Indonesia, PT Frisian Flag Indonesia, PT Sari Husada, PT Indomilk, PT Ultrajaya dan PT Indolakto. Menurut Syahlan, sebagian besar bahan baku susu segar bagi industri pengolahan susu diperoleh melalui impor dari berbagai negara salah satunya Australia. Total bahan baku yang diimpor mencapai 70% dari total kebutuhan bahan baku di dalam negeri. Bahan baku susu segar di dalam negeri sendiri sepenuhnya diserap oleh industri pengolahan. Karena sebagian besar bahan baku susu diimpor, maka industri pengolahan susu sangat terpengaruh dengan fluktuasi nilai mata uang Dollar dan Euro. Jika mata uang asing itu mengalami kenaikan maka biaya produksi industri pengolahan susu pun melesat. Susu segar itu kemudian diolah menjadi susu bubuk, susu cair atau susu kental manis. PT Ultrajaya misalnya mengolah semuanya menjadi susu cair dan Nestle mengolahnya menjadi susu bubuk. Sementara Indomilk mengolahnya menjadi susu bubuk, susu cair dan susu kental manis. Daya saing industri pengolahan susu, juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya terkait kenaikan upah minimum di atas tingkat inflasi. Sedangkan, perusahaan susah untuk menaikan harga produk yang dijual ke konsumen. Selain itu, perusahaan pengolahan semestinya bisa melakukan penghematan jika menggunakan bahan bakar gas. Sayangnya sumber energi itu belum tersedia sehingga semua industri menggunakan bahan bakar solar. Padahal perbandingannya satu liter solar industri seharga Rp 8.900, jika diganti dengan gas hanya memakan biaya Rp 2.900 atau Rp 3.000. Menanggapi keluhan dari industri pengolahan susu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan kebutuhan gas bagi industri di dalam negeri memang belum mencukupi. Dari total kebutuhan sebanyak 3.000 Mmscfd baru terpenuhi kurang dari 1.000 Mmscfd. "Pemenuhan pasokan gas bagi industri harus menunggu selama dua tahun sampai infrastruktur pendukung terbangun," kata Hidayat. Di sisi lain, pemerintah juga mencari solusi lain sambil menunggu infrastruktur terminal gas terbangun. Salah satunya dengan mencari investor yang mau membangun terminal gas mobile atau bisa berpindah-pindah. Pemerintah juga berusaha melakukan renegosiasi penjualan gas ke Singapura. Selama ini, menurutnya Singapura bisa makmur karena suplai gas dari Indonesia. Ironisnya, industri di Indonesia justru kekurangan gas.