Penjualan Telkom Vision dan Mitratel bermasalah?



JAKARTA. Rencana penjualan anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk, yakni PT Indonusa Telemedia (Telkom Vision) dan PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) diindikasikan terdapat kejanggalan.

Hal itu diungkapkan oleh pengamat persaingan usaha Rikrik Rizkiyana. Menurutnya penjualan aset-aset Telkom tersebut menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan bisnis mereka.

Bahkan kata dia penjualan Mitratel kepada perusahaan swasta sejenis, bisa menciptakan monopoli di sektor tower telekomunikasi. “Apalagi jika nantinya ada kontrak ekslusif antara perusahaan pembeli Mitratel dengan Telkom yang menyebabkan perusahaan tower lain kesulitan untuk melakukan kerjasama, itu jelas salah,” kata Rikrik, di Jakarta, Rabu sore (11/12).


Rikrik menyarankan agar ada evaluasi menyeluruh terhadap rencana penjualan Telkom Vision dan Mitratel. Dia menyarankan DPR juga melakukan evaluasi dan penilaian dari aspek potensi monopoli ke depannya.

Dalam rapat dengar pendapat DPR dengan Kementerian BUMN dan Direksi PT Telkom di Jakarta, Senin (9/12), Komisi VI DPR telah memutuskan untuk membentuk Panja. Pembentukan Panja dilakukan menyusul penolakan Komisi VI DPR atas rencana BUMN telekomunikasi tersebut.

Anggota Fraksi PAN Nasril Bahar dan anggota Fraksi Golkar Chairuman Harahap bahkan mengusulkan untuk menggunakan hak inisiatif Dewan terkait penjualan saham tersebut. “Saya menilai ada upaya sistematis untuk merampok aset negara di BUMN,” kata Nasril.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima mengatakan aset perusahaan BUMN merupakan aset negara karena modalnya berasal dari APBN. Karena itu, penjualan perusahaan BUMN harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Kalau mau menjual perusahaan BUMN seenaknya, kembalikan dulu modal yang didapat dari APBN,” kata Aria Bima.

Ucok Sky Khadafi, Koordinator Investigasi dan Advokasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), menyatakan DPR harus bertindak cepat untuk menggalang penolakan terhadap rencana penjualan saham Mitratel. “Aroma kepentingan politik sangat kental. Jadi lebih baik penjualan dibatalkan pemerintah,” tandas Ucok.

Ucok menilai jika saham Mitratel dijual hingga 49%, ditakutkan perseroan akan berpraktik layaknya swasta tanpa memperhatikan kepentingan publik. “Soal harga pelayanan misalnya, bisa langsung dinaikkan. Ini jelas ujungnya akan memberatkan rakyat sebagai pengguna jasa telekomunikasi,” tegasnya.

Mitratel berdiri pada 1995, berawal dari perusahaan mitra KSO di wilayah Kalimantan dengan nama PT.Dayamitra Malindo yang sahamnya dimiliki oleh beberapa perusahaan swasta nasional dan swasta asing. Dalam perjalanannya, kepemilikan saham telah mengalami beberapa kali perubahan, hingga akhirnya pada 3 Desember 2004 saham Mitratel 100% dimiliki PT. Telkom Tbk.

Peminat Mitratel, sejauh ini mengerucut pada dua perusahaan kakap. Yakni PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), anak usaha PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR). Dua perusahaan tower ini merupakan tiga besar di industri tower dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan