Penolakan PMN emiten BUMN mengganjal laju IHSG



JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh titik tertinggi di 5.348,84 pada perdagangan Rabu (4/2). Namun, pada penutupan perdagangan, IHSG hanya mampu menguat ke 5.315,28. Level tersebut mencerminkan price earning ratio (PER) di 23,56 kali.

Jika dibandingkan indeks Asia yang lain, IHSG memiliki PER tertinggi kedua setelah Shenzen. Para analis juga melihat, level IHSG saat ini terbilang mahal.

Kepala Riset Bahana Securities Harry Su memperhitungkan, PER wajar IHSG saat ini di posisi 18,5 kali. "Nanti lihat lagi, laba emiten, bisa berjalan sesuai target atau tidak," sebut dia.


Bagi Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rahmat, valuasi IHSG saat ini berada di posisi 14,5 kali. Apabila outlook Indonesia murni positif, valuasi tersebut murah. Namun, ia melihat, outlook Indonesia saat ini malah cenderung mixed. Karena itu, IHSG cenderung koreksi usai perdagangan sesi siang kemarin. Tak hanya kabar itu saja yang membuat IHSG koreksi.

Menurut Harry, penurunan ini akibat ditolaknya anggaran Penyertaan Modal Negara (PMN) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Panitia Kerja Badan Anggaran bersama pemerintah akhirnya menyetujui PMN Rp 39,92 triliun. Angka tersebut lebih rendah dari sebelumnya Rp 48,01 triliun.

Harry menilai, kondisi saat ini cenderung memberatkan IHSG untuk terus menanjak. Menurut dia, ini sangat tergantung pada pembangunan infrastruktur. Namun nyatanya, sektor infrastruktur juga terkena imbas dari ditolaknya PMN. Pengumuman DPR yang tak menyetujui usulan pemerintah menyuntikkan dana ke beberapa perusahaan BUMN menyebabkan beberapa saham turun banyak.

Kemarin, harga saham PT Adhi Karya, Tbk (Persero) Tbk (ADHI) ambles 10,26%. Lalu PT Wijaya Karya, Tbk (WIKA) merosot 4,19%. Secara indeks sektor saham properti dan konstruksi anjlok paling dalam, yakni 0,93% menjadi 563,98. Fundamental buruk Selain faktor tersebut menurut John, ada beberapa sentimen negatif yang mempengaruhi pergerakan indeks.

Perekonomian Indonesia berubah dari berbasis pasar bebas (free market), menjadi pasar yang dikendalikan pemerintah (state-planned economy) membuat faktor negatif yang cukup fundamental. John menyebut, ini menjadikan ekonomi Indonesia dalam titik rapuh, karena pemerintah kerap melakukan intervensi ke pasar.

Salah satu contoh, menurunkan harga semen. Belum lagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghimbau menurunkan suku bunga perbankan dan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang meminta pengusaha menurunkan harga jual bahan pokok. Menurut John, tak ada state-planned economy yang sukses.

Karena itu pula, Bahana Securities menurunkan peringkat emiten semen dari netral ke underweight. Harry juga menurunkan peringkat emiten properti dari neutral menjadi underweight, imbas kenaikan pajak.

Namun menurut John ada sisi positif di pasar, yakni DPR menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Maklum, APBN-P banyak berisi program positif, seperti infrastruktur, pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), menggenjot pertanian, pendidikan, transportasi publik, dan lain-lain.

Apalagi ada rencana, S&P meningkatkan outlook Indonesia, dari stabil menjadi positif pada April atau Mei 2015. Karena sinyal campuran positif dan negatif ini, John berencana menurunkan target IHSG. Semula, ia menargetkan IHSG di posisi 6.350 di akhir tahun. Sedangkan, Harry masih yakin, IHSG hingga akhir tahun ini bisa tutup di angka 5.900.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa