Penolakan Terhadap RUU Penyiaran yang Melarang Investigasi Terus Bergulir



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penolakan terhadap revisi Undang-undang (RUU) Penyiaran berembus makin kencang. Penolakan atas pembahasan RUU Penyiaran itu muncul karena adanya pasal yang diselipkan untuk mengekang kebebasan pers di Indonesia. 

Usai adanya penolakan yang dilakukan oleh Dewan Pers, tabuh penolakan juga datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. “LBH Pers dan AJI Jakarta menilai revisi UU Penyiaran ini akan membawa masa depan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan,” kata pernyataan tertulis AJI Jakarta dan LBH Pers, Rabu (15/5).   Salah satu hal krusial dalam revisi undang-undang ini ialah, Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Baca Juga: PDB Jepang Berkontraksi, Mempersulit Rencana Kenaikan Suku Bunga BOJ


Sebagaimana yang terdapat pada draf tertanggal 27 Maret 2024 itu, revisi UU Penyiaran itu secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. 

“Negara, dalam hal ini Pemerintah, kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga  negaranya. Hal ini tentu tak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi,” kata pernyataan resmi organisasi yang diketuai oleh Afwan Purwanto itu.

Lapisan pelanggaran ini mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis yang telah terwujud melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang yang dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.

Adapun Pasal-Pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi  terdapat pada:

Pasal 50B ayat (2) - larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi; - larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender; - larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Pasal 8A huruf q menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran

Pasal 42  (1) Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Untuk itu, LBH Pers dan AJI Jakarta telah memberikan catatan kritis terhadap RUU Penyiaran yang diusung oleh DPR itu. Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. 

Baca Juga: Shio Kambing Harus Berhemat Hari Ini, Cek Ramalan 12 Shio Hari Ini, Kamis (16/5)

“Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir,” terang Afwan dalam pernyataan.

Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian homoseksual biseksual dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik;

Ketiga, pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya. 

Baca Juga: Bisik-Bisik Sumber: Serangan Militer China Semakin Dekat ke Taiwan

Keempat, pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers. 

Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebut di atas, dengan ini LBH Pers dan AJI Jakarta mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran. Jika memang dilakukan pembahasan, harus menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. “Serta melibatkan Dewan Pers dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan,” tambah Afwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri