Pentingnya Peran Migas dalam Transisi Energi dan Dukungan Insentif pada Sektor Hulu



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Transisi energi yang tengah gencar dilakukan di Indonesia dipastikan tidak akan menggeser peran energi fosil baik minyak maupun gas bumi. Sampai beberapa tahun bahkan puluhan tahun mendatang peran migas masih sangat vital untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia, termasuk menggerakkan perekonomian nasional. 

Namun sayang, lapangan–lapangan migas yang saat ini berproduksi umurnya sudah sangat tua (mature) yang mempengaruhi keekonomian proyek maupun lapangan migas tersebut. Pemerintah masih optimistis produksi migas masih bisa ditingkatkan melalui investasi yang dalam praktiknya tidak mudah. Salah satu usaha yang harus dilakukan adalah memberikan insentif bagi kegiatan usaha hulu migas.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan produksi migas harus terus didorong meskipun ada anggapan migas sudah habis masanya tapi pada kenyataannya migas berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, di tengah kondisi sekarang saat harga minyak tinggi, negara juga menikmati keuntungan tersebut.


“Akhir-akhir ini dengan harga minyak naik sudah tentu hilir tertekan, hulu ini menambah suasana kondusif. Harga naik, investasi diharapkan naik, harganya naik. Dugaan ini terkonfirmasi Pertamina di hulu makin bagus. Bu Sri Mulyani (Menkeu) mengakui migas berikan tambahan cukup besar PNBP maupun pajak ke pendapatan negara,” jelas Mulyanto dalam acara webinar, Rabu (15/6). 

Baca Juga: Panas Bumi Dinilai Potensial Dukung Program Dekarbonisasi

Dewan Perwakilan Rakyat, menurut Mulyanto, bahkan mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengejar target lifting migas sebesar 1 juta barel per hari (BPH) dan 12.000 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Salah satunya dengan menjadikan target tersebut dituangkan dalam regulasi yang jelas. 

“Target 1 juta bph itu jadikan Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres). Kalau ada itu, dorongan kuat dari sisi keuangan,” ujar dia.

Anggota Dewan Energi Nasional Satya W Yudha mengatakan, transisi energi perlu dilakukan secara bertahap. Hal itu otomatis membuat hulu migas masih sangat diperlukan. 

Menurut dia cara tepat dalam pengembangan energi fosil atau migas adalah dengan memperhatikan keseimbangan pengembangan hulu migas dengan penurunan emisi melalui penggunaan energi. “Teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil tapi dengan teknologi bersih,” ujar Satya.

Dia menegaskan, DEN terus mendorong perbaikan iklim investasi migas agar investor betah berinvestasi di Indonesia dengan memonetisasi dari lapangan yang ada. DEN mewanti-wanti agar produksi migas jangan terus turun. Pasalnya, berdasarkan skenario yang telah disusun oleh DEN, gas menjadi backbone dalam strategi transisi energi di Indonesia. 

Baca Juga: Menteri Investasi Bahlil Resmi Membuka Paviliun Indonesia di Davos, Swiss

“Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil sehingga tren migas ke depan bisa menuju energi lebih bersih,” ungkap Satya.

Dalam transisi energi menuju net zero emission, porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2060 mendatang diproyeksikan masih akan sekitar 34%.

Gas bumi diproyeksi memiliki kontribusi besar dalam bauran energi primer Indonesia. Melalui RUEN pemerintah memproyeksikan kebutuhan gas bumi dalam negeri pada 2050 sebesar 25.869,1 MMSCFD.

Sekretaris SKK Migas Dr Taslim Z Yunus  mengungkapkan dalam outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh. Apalagi pemerintah telah memberikan beberapa insentif kepada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). 

“Target kami pada 2030 produksi minyak mencapai 1 juta BOPD dan gas 12 BScf,” katanya.

Upaya pemerintah untuk mencapai target produksi tersebut salah satunya dilakukan melalui pemberian paket insentif hulu migas di antaranya, penundaan sementara pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau abandonment and site restoration (ASR), penundaan atau penghapusan PPN LNG (penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN). 

Kemudian, pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara (BNN) sepanjang masih digunakan untuk kegiatan usaha hulu migas, lalu penundaan atau pengurangan hingga 100% atas pajak-pajak tidak langsung, memberikan insentif hulu migas, di antaranya depresiasi dipercepat, perbaikan split untuk KKKS, dan DMO price yang lebih baik. Dan masih banyak paket insentif hulu migas lainnya. 

Baca Juga: Ditolak Eropa, Rusia Alihkan Pasar Minyaknya ke Asia dan Kawasan Lain

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Dr Komaidi Notonegoro menambahkan, semua pihak sudah sepakat bahwa industri hulu migas masih sangat penting dan kini tinggal bagaimana mengelolanya secara bijaksana. 

Indonesia harus belajar dari beberapa negara seperti Brasil, Australia, dan Kanada yang memberikan insentif kepada operator sehingga produksi migas di ketiga negara tersebut ikut meningkat. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut.

Kajian yang dilakukan Reforminer memperlihatkan bahwa dari 185 sektor industri di Indonesia, sekitar 145 sektor atau 70%-80 %, memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas. “Index multiplier effect mencapai 39. Jadi setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita,” katanya.

Menurut Komaidi, sektor hulu migas masih berperan penting bagi perekonomian nasional kendati ada transisi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan. Apalagi, banyak produk derivatif yang dihasilkan dari minyak dan gas. “Kalau mau melangkah ke transisi energi tentu banyak hal-hal detail perlu bijak dalam melihatnya,” katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli