Penuhi lokal, ekspor gas alam disetop mulai 2036



JAKARTA. Pemerintah mulai menata kembali produksi dan pasokan energi di dalam negeri melalui Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2016-2050. Salah satu yang akan diatur adalah produksi dan distribusi gas alam.

Berdasarkan RUEN 2016-2050, pemerintah akan menghentikan ekspor gas alam pada 2036 mendatang. Rencana yang digagas oleh Dewan Energi Nasional ini sejalan dengan perkiraan kebutuhan energi yang dibuat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut mulai 2019 atau 2020, Indonesia bakal membutuhkan pasokan gas alam dari luar negeri alias impor.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja menyebutkan, agar bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri, pada tahap awal pemerintah akan mengutamakan penggunaan jatah gas miliki pemerintah. "Kalau bisa diserap di dalam negeri maka akan kami prioritaskan di dalam negeri, seperti gas dari Tangguh," katanya kepada KONTAN Kamis (12/5).


Selain itu, untuk sampai pada kebijakan menghentikan ekspor gas, pemerintah menjamin kontrak-kontrak gas yang masih berlangsung akan tetap dilaksanakan hingga berakhir. Dalam hitungan pemerintah kontrak penjualan gas dari lapangan yang ada di Indonesia terakhir pada 2036. "Kontrak-kontrak yang sudah ada dari dulu harus kita hormati," kata Wiratmaja.

Selain itu, agar gas yang diproduksi di dalam negeri bisa terserap dengan baik, saat ini pemerintah tengah menyiapkan roadmap pembangunan infrastruktur gas jangka panjang. Dengan begitu gas bisa optimal terpakai di dalam negeri, baik bagi kebutuhan rumah tangga maupun industri.

Di sisi lain pemerintah memang harus mengalokasikan anggaran untuk membangun infrastruktur gas di dalam negeri. Dengan cara ini, maka produksi gas baru bisa terserap semua di dalam negeri.

Lebih transparan

Rencana kebijakan gas ini tak di soal oleh pengusaha. Hanya saja, pengusaha berharap ke depan pemerintah bisa lebih transparan dalam pengelolaan sumber daya alam ini. Chief Executive Officer (CEO) Ephindo Sammy Hamzah menyebut, selama ini pemerintah yang menetapkan harga gas dan alokasi gas melalui Menteri ESDM. Namun, pertimbangan penetapan dia anggap kurang transparan.

Selain itu, agar kebijakan ini tidak mengurangi minat investor membenamkan duit di bisnis pengeboran gas bumi di dalam negeri, Sammy mengusulkan agar pemerintah juga mempertimbangkan tingkat keekonomian masing-masing lapangan migas.

Pertimbangan lain yang harus dipikirkan pemerintah adalah saat ini untuk membawa gas yang dihasilkan dari lapangan migas di Indonesia Timur menuju ke pembeli di wilayah Barat masih tergolong mahal lantaran belum ada infrastruktur. Pilihan ini yang kadang menjadikan alternatif ekspor menjadi lebih menguntungkan bagi kontraktor.

Kebijakan pemerintah untuk menghentikan ekspor gas alam ini juga akan membawa dampak kepada bisnis salah satu perusahaan pelat merah yakni Pertamina. Maklum selama ini Pertamina mendapatkan tugas untuk menjual gas jatah pemerintah kepada pembeli baik di dalam maupun di luar negeri.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina Wianda Pusponegoro bilang, konsekuensi kebijakan ini adalah harus menjual seluruh gas alam ini kepada pembeli di dalam negeri. Salah satu pembeli potensial dalam beberapa tahun kedepan adalah kepada perusahaan pembangkit listrik tenga gas (PLTG). Hanya saja hingga kini belum ada gambaran berapa besar kebutuhan gas untuk pembangkit listrik ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini