Setelah arus mudik sepi oleh rombongan masyarakat kota yang rindu kampung halaman di kala Idul Fitri, arus balik berganti menyesaki seluruh moda transportasi yang dapat dijadikan sebagai sarana angkutan menuju kota idaman. Bukan hanya pemudik yang memadati lalu lintas arus balik, para kerabat di udik pun turut menjadi penumpang gelap menuju kota. Penumpang gelap pada arus balik bukan persoalan sepele bagi pengelola kota. Jumlah mereka yang tak sedikit, bahkan, mencapai jutaan jiwa tentu akan menambah berat beban kota, seperti Surabaya, Jakarta, Medan, Bandung, dan lainnya. Kementerian Perhubungan meramalkan bahwa sejuta orang pendatang baru bakal memadati Jakarta. seiring dengan kepulangan pemudik. Jakarta yang luasnya hanya sebesar Singapura bakal mendapat tambahan seperempat penduduk Singapura. Sedangkan dengan jumlah penduduk sekarang saja, wajah Jakarta sudah semrawut. Apalagi, ditambah dengan kedatangan sejuta kaum urban yang belum jelas eksistensinya.
Dalam sudut pandang kependudukan, keberadaan penumpang gelap di masa arus balik diistilahkan dengan urbanisasi. Artinya perpindahan warga desa (rural) ke kota dengan motivasi mendapatkan pekerjaan di kota (urban). Urbanisasi pasca mudik sering diistilahkan dengan migrasi berantai (chain migration) karena perpindahan penduduk ke kota disertai oleh kaum kerabat yang memiliki hubungan darah dan keturunan. Atas dasar jaminan dari kerabat, pendatang baru ke kota besar berani ambil risiko, meskipun bekal dan keterampilan mereka sangat minim. Padahal, mencari pekerjaan tanpa keterampilan di kota sama artinya dengan menumbalkan diri atas ganasnya kota. Betapa banyak cerita miring yang terdengar tentang pencari kerja tanpa keahlian di kota yang akhirnya jatuh ke lembah hitam kehidupan. Kaum wanita, banyak yang terpaksa berkerja di panti pijat dan rumah bordil yang menjual kemolekan tubuh. Sementara, kaum pria ada yang jadi pelaku kriminal yang kerap bikin onar di tengah masyarakat sehingga jadi musuh sosial. Memang, ada juga cerita sukses menyertai kaum urban. Namun, itu hanya sedikit. Lebih banyak cerita mengenai kegagalan. Di balik kilau gemerlap, kota mempunyai keterbatasan dalam soal daya dukung lahan, kapasitas infrastruktur, peluang kerja, atau sarana publik. Orang-orang yang beruntung akan menjadi contoh sukses bagi kerabat di desa, sedang yang kurang beruntung dituduh menjadi biang kerok dari segala ketidaknyamanan kehidupan masyarakat di kota. Celakanya, kebanyakan para pengadu nasib adalah bagian dari cerita gagal tersebut. Akibatnya, para pengelola kota yang sudah kerepotan mengurus mereka yang telanjur berada di kota berusaha keras menangkal kehadiran para pencari kerja baru. Banyak upaya telah dilakukan, misalnya melalui operasi yustisi atau pembuatan KTP lokal. Namun hasilnya belum signifikan mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Sebuah buku berjudul Cities, Poverty and Development: Urbanization in the ThirdWorld karangan Gilbert & Gigler menyebutkan bahwa banyak literatur menemukan bukti bahwa motivasi utama urbanisasi adalah masalah ekonomi. Buku itu mengungkapkan bahwa di berbagai kawasan di Asia, Afrika dan Amerika Latin, alasan ekonomi menjadi motivasi yang dominan. Bukti itu ditemukan Simmonz, Diaz-Briquette dan Laquian (1977), yang menguatkan penemuan Shaw (1975) dan Lowder (1978). Bahkan Yap (1990) lebih jauh telah membuat model ekonometri berupa korelasi di antara perbedaan pendapatan desa-kota dengan arus urbanisasi. Rezim pertumbuhan Sepanjang pemerintah di era reformasi, kemajuan ekonomi selalu diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi selalu menjadi klaim kesuksesan tim ekonomi pemerintah. Namun faktanya pertumbuhan tersebut bukan merepresentasikan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir rakyat Indonesia, khususnya orang kaya yang tinggal di kota besar. Sementara mayoritas rakyat negeri ini sama sekali belum merasakan pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang. Sehingga setiap tahun, khususnya pasca mudik, banyak yang menjadi penumpang gelap menuju belantara ibukota. Saat ini, 60% penduduk Indonesia berada di perdesaan dan 40% di kota. Artinya, sebagian besar penduduk yang tak menikmati berkah pertumbuhan ekonomi berasal dari desa. Wajar mereka terobsesi pindah ke kota demi kehidupan yang lebih baik. Selama ini pemerintah hanya bisa menciptakan konsentrasi ekonomi di kota besar Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sehingga orang berbondong-bondong datang ke sana. Strategi pembangunan yang berorientasi ke desa perlu digalakkan pemerintah. Salah satu strategi penting yang dapat diterapkan dalam mengembangkan ekonomi pedesaan adalah memadukan berbagai sektor. Keterpaduan ini diharapkan dapat mendorong dan merangsang pertumbuhan sektor ekonomi pedesaan sekaligus mampu menciptakan peluang kerja. Selama ini, desa hanya berfungsi sebagai penghasil komoditas. Alangkah lebih baik seluruh subsektor, mulai hulu, hilir, hingga jasa penunjang produksi komoditas juga di bangun di desa. Dengan demikian, keterpaduan tersebut mampu menciptakan kaitan-kaitan antara usaha skala kecil dan skala besar. Keterkaitan seperti ini dapat memberikan bantuan seperti alih teknologi, perluasan pasar, ataupun bantuan modal, kepada pengusaha skala kecil, baik industri maupun usaha kecil lainnya. Menurut Ranis, Stewart, dan Reyes keterkaitan merujuk pada berbagai macam interaksi dan saling hubungan antar kegiatan ekonomi. Keterpaduan dapat membantu dalam mengidentifikasi sifat dan dampak interaksi antar kegiatan ekonomi. Identifikasi ini mempunyai implikasi kebijakan penting untuk pengembangan ekonomi. Hal ini tidak hanya dapat meningkatkan keseimbangan pengembangan ekonomi wilayah, tetapi juga dapat membantu merangsang pertumbuhan ekonomi. Baik pertumbuhan di sektor pertanian maupun non pertanian (industri perdagangan dan jasa), yang pada gilirannya dapat dipakai sebagai pola dasar pembangunan secara menyeluruh (Rara : 2011).
Selain itu, pemerintah pusat perlu mengembangkan kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Dalam jangka panjang, jika pemusatan pembangunan diarahkan ke desa, maka tidak ada lagi penumpang gelap yang menyertai arus balik. Semoga. •
Arfanda Siregar Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi