Penunjang industri galangan kapal masih belum maksimal



JAKARTA. Industri penunjang galangan kapal harus segera dibenahi jika pelaksanaan asas cabotage atau kapal lokal wajib berbendera Indonesia bisa berjalan lancar.

Mantan Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Harsusanto menilai, selama ini pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur, sementara industri penunjang galangan kapal masih bergantung impor dari luar. "Padahal biaya peralatan menelan dana sebesar 60% dari jumlah total harga kapal. Kalau semua alat dari luar kita kan rugi," ujarnya.Padahal, galangan kapal nasional telah mampu mendorong berbagai pembuatan jenis kapal, mulai dari kapal jenis tug boat dan tongkang, kapal tanker, kapal cargo, accommodation barge, rig, kapal ikan, kapal keruk, kapal penumpang, maupun bulk carrier.“Sampai saat ini kapal yang dibangun di galangan kapal nasional terbesar ukurannya bisa mencapai hingga 50.000 dead weight ton (DWT),” ujarnyaBahkan setelah asas cabotage direalisasikan, jumlah kapal berbendera merah putih meningkat hingga 60%. Iperindo mencatat, tahun 2005 jumlah kapal berbendera merah putih sebanyak 6041 unit.

Setelah berjalannya INPRES nomor 5 tahun 2005 yakni tahun 2011 jumlah kapal berbendera merah putih meningkat menjadi 10.000 unit atau kurang lebih 13 juta GT.Sehingga Perkiraan Kapal yang melakukan docking per tahun sebanyak 7,8 juta GT. Sedangkan saat ini kapasitas terpasang galangan kapal nasional hanya dapat menampung 6 juta GT per tahun. Dengan demikian kapasitas galangan kapal mengalami kekurangan fasilitas docking sebesar 1,8 juta GT per tahun."Di sini sebetulnya ada peluang untuk investor baru untuk menanamkan modalnya di industri galangan kapal," tuturnya.Selain kekurangan kapasitas untuk kegiatan docking, saat ini pun industri galangan kapal kekurangan kapasitas terpasang. "Kapasitas terpasang industri galangan kapal pada bidang bangunan kapal baru sebesar 600 ribu GT per tahun serta lepas pantai 25.000 ton per tahun.Okupansi untuk kegiatan bangunan baru hanya 50%-60% dari kapasitas terpasang, sedangkan okupansi untuk kegiatan docking repair rata-rata 95%.Pemerintah pun menyadari hal itu. Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian, Budi Darmadi, mengatakan peluang industri perkapalan nasional masih cerah.Alasannya, saat ini telah terjadi pergeseran pusat produksi kapal dunia yakni dari sebelumnya berbasis di Eropa beralih ke Asia. Kondisi ini menjadikan Indonesia berpeluang menjadi pusat produksi kapal berikutnya di dunia, setelah Jepang, China dan Korea. Budi menargetkan pada tahun 2025 nanti industri galangan kapal nasional akan memiliki fasilitas produksi yang mampu membangun serta memperbaiki dan merawat kapal berteknologi tinggi berukuran sampai 300 ribu DWT yang didukung infrastruktur dan komponen kapal dari dalam negeri. Wilayah Batam akan diarahkan untuk menjadi pusat industri pendukung industri minyak dan gas. Untuk mencapai target tersebut pemerintah telah melakukan beberapa langkah kebijakan."Salah satunya dengan pemberian insentif bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) atas impor barang atau komponen yang belum diproduksi dalam negeri," papar Budi


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini