JAKARTA. Tarif Bea Keluar (BK) minyak sawit mentah atau
crude palm oil (CPO) pada awal tahun depan kembali turun lagi sejalan dengan penurunan harga CPO. Kementerian Perdagangan (Kemdag) menetapkan BK CPO pada Januari 2013 sebesar 7,5%, turun dari 9% di bulan Desember ini. Bachrul Chairi, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag mengatakan, harga komoditas tersebut memang cenderung menurun. "Penurunan BK ini juga diikuti dengan penurunan harga patokan ekspor (HPE) CPO," ungkap Bachrul, Rabu (26/12). Kemdag mencatat, selama satu bulan terakhir, harga referensi CPO untuk menentukan besaran tarif BK Januari 2013 adalah harga CPO di Rotterdam sebesar US$ 780,26 per metrik ton. Jumlah itu melemah 5,4% dibandingkan harga bulan sebelumnya, yakni US$ 825,34 per metrik ton.
Setelah dikurangi biaya transportasi dan biaya-biaya lain, Kemdag menetapkan HPE CPO untuk Januari 2013 sebesar US$ 709 per metrik ton, menurun 5,9% dibandingkan HPE CPO Desember 2012 sebesar US$ 754 per metrik ton. Berdasarkan HPE itu, eksportir CPO membayar BK di bulan Januari nanti sebesar 7,5% dari total nilai ekspor mereka. Tarif BK CPO Januari 2013 merupakan yang terendah selama setahun terakhir. Bahkan BK CPO di bulan Januari 2013 hanya setengah tarif BK yang diberlakukan di Januari 2012. Walaupun relatif rendah, Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan penurunan tarif BK CPO ini tidak akan mendongkrak kinerja ekspor CPO Indonesia. "Penurunan itu disebabkan pasar melemah, banyaknya stok," kata Fadhil. Gapki memproyeksikan volume ekspor CPO pada 2012 ini mencapai 16,5 juta ton, atau sama dengan tahun lalu. Adapun produksi CPO 2012 diprediksi 27 juta ton. Selama 2011, Indonesia memproduksi CPO seberat 23,5 juta ton. Seperti diketahui, pemerintah memberlakukan perhitungan tarif BK CPO progresif selama beberapa tahun ini. Semakin tinggi harga CPO di pasar internasional, semakin besar tarif BK yang harus dibayar eksportir. Meski dikeluhkan eksportir, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tarif BK progresif ini. Melihat tren harga CPO yang terus menurun, Gapki mengusulkan agar produksi biofuel dalam negeri ditingkatkan secara signifikan. Soalnya, saat ini kapasitas terpasang industri
biofuel 4 juta ton, tapi utilisasinya hanya sekitar 1,3 juta ton. Menurut Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, untuk mengantisipasi penurunan harga CPO, perlu campur tangan pemerintah untuk menggenjot kebutuhan
biofuel dalam negeri.
Sahat menghitung, ekspor
biofuel tahun ini diperkirakan 1,3 juta ton, sedang konsumsi dalam negeri hanya 480.000 ton. Sahat memproyeksikan akan terjadi kenaikan permintaan
biofuel pada tahun depan. Volume ekspor
biofuel selama 2013 diproyeksikan meningkat menjadi 1,5 juta, sedang konsumsi
biofuel domestik bisa sampai 1,24 juta. Menurut GIMNI, penerapan BK CPO secara progresif juga berdampak positif bagi industri hilir atau
refinery. GIMNI pernah menghitung, nilai investasi yang masuk ke industri hilir sawit Indonesia tahun ini telah mendekati angka US$ 1,02 miliar. GIMNI memprediksi nilai investasi tersebut di 2013 - 2015 bisa mencapai US$ 2,03 miliar. Jumlah perusahaan
refinery di Indonesia pada 2011 sebanyak 93 perusahaan, tahun ini bertambah menjadi 113 perusahaan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro