Jelang tutup tahun, kabar gembira berembus ke arah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah menyatakan rencana penurunan lanjutan bunga kredit usaha rakyat (KUR). Jika di tahun ini bunga KUR sekitar 9,0% efektif per tahun, maka di tahun depan besarannya turun menjadi 7,0% efektif per tahun. Rencana ini tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Pedoman Pelaksanaan KUR. Perubahan ini dilakukan untuk mencapai target dan perluasan penyaluran KUR serta menampung permintaan pelaku usaha.
Tak hanya bunga yang lebih rendah, aturan baru juga memungkinkan penyaluran KUR ke calon debitur yang berstatus pengusaha pemula. Penurunan bunga KUR ini sejalan dengan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam peringatan HUT Kemerdekaan ke-72 RI di DPR, pertengahan Agustus silam. Saat itu, Presiden menilai penyaluran KUR menjadi instrumen dalam merangsang ekonomi di masyarakat bawah. Penurunan bunga KUR juga bertujuan mendukung UMKM. Kehadiran KUR bermula pada 5 November 2007. Bertempat di kantor pusat Bank Rakyat Indonesia (BRI), Jakarta, Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, meresmikan program KUR. KUR diharapkan dapat membuat UMKM lebih berkembang. Pemerintah juga menyiapkan penjaminan pemerintah melalui Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha dan Asuransi Kredit Indonesia. Sebab, pelaku UMKM selalu dihantui beragam masalah klasik yang telah kita ketahui bersama. Sebagai awalan, saat itu, KUR disalurkan dengan bunga maksimal 16%. Nilai kredit maksimal Rp 500 juta per debitur. Sebanyak enam bank dilibatkan, yaitu BRI, Bank Mandiri, BNI, Bank Tabungan Negara, Bank Bukopin dan Bank Syariah Mandiri. KUR fokus ke lima sektor usaha, yakni pertanian, perikanan, kelautan, koperasi, kehutanan, perindustrian dan perdagangan. Setelah berjalan tujuh tahun, pada akhir 2014 KUR dihentikan sementara. Salah satu pemicu moratorium KUR adalah tingkat rasio kredit bermasalah atau
non-performing loan yang mencapai 4,2%. Selain itu, KUR dihentikan sementara karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai sasaran program KUR belum tepat sasaran. Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UMKM) mencatat, realisasi penyaluran KUR selama 2007-2014 sebesar Rp 161 triliun dengan jumlah debitur 11,5 juta. KUR diklaim juga meningkatkan rasio wirausaha dari 1,56% menjadi 2,51% dari jumlah penduduk. KUR yang berdampak pada kinerja UMKM juga berdampak bagi peningkatan PDB Indonesia mencapai US$ 1,2 triliun, serta naiknya pendapatan per kapita menjadi US$ 4.800. Penghentian sementara KUR muncul lagi pada 10 Maret 2015. Keputusan penyaluran KUR dilakukan setelah pemerintah mengevaluasi berbagai temuan program itu di tahun-tahun lalu. Tingkat bunga KUR pun dipangkas untuk kredit mikro dari 22% efektif per tahun (2014) menjadi 21% efektif per tahun. Tak lama berselang, bunga kembali direvisi menjadi 12% efektif per tahun. Bunga KUR bisa turun berkat subsidi yang dialokasikan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun di akhir tahun, realisasi penyaluran KUR hanya 75,58% dari targetnya yaitu Rp 30 triliun, dengan jumlah debitur lebih dari 500.000. Besaran bunga KUR kembali turun menjadi 9,0% pada 2016 dan tahun ini. Selama 2016 realisasi penyaluran KUR mencapai Rp 94,4 triliun, dari target Rp 100 triliun. Tahun ini, realisasinya sampai Agustus 2017 senilai Rp 61,14 triliun, dari target Rp 110 triliun dengan jumlah debitur 2,7 juta. Tahun depan, seperti disebut di awal tulisan, bunga KUR direncanakan 7,0% efektif per tahun. Penurunan bunga KUR jelas merupakan kabar baik bagi pebisnis UMKM. Sebab, semakin rendah bunga, maka tingkat pengembalian ke bank maupun lembaga penyalur KUR pun semakin kecil. Efek lain yang berpotensi timbul adalah kemungkinan meningkatnya jumlah pelaku UMKM. Menurut Kemenkop dan UKM serta Badan Pusat Statistik, jumlah pelaku UMKM mendekati 60 juta. Perinciannya 59.267.759 unit usaha mikro atau sekitar 99% dari total usaha; usaha kecil sebanyak 681.522 unit (1,15%); usaha menengah sebanyak 59.263 unit atau (0,10%), dan usaha besar 4.987 unit atau (0,1%). Namun patut dipahami bersama bahwa penurunan bunga tidak otomatis menjangkau seluruh pelaku UMKM. Masalah penyaluran KUR ke pelaku UMKM tidak melulu soal bunga. Ada masalah yang jauh lebih penting dan hingga sekarang masih kerap muncul. Masalah-masalah ini yang harus diatasi pemerintah, tentu beserta bank dan lembaga penyalur. Contoh masalah itu adalah adanya persyaratan menyertakan agunan. Betul, pelaku UMKM identik dengan kualitas usaha yang tidak bankable. Jadi, bank kerap meminta agunan sebelum menyalurkan KUR. Hal ini jelas bertentangan dengan praktik pelaksanaan KUR di masyarakat. Masih saja pelaku UMKM ini diminta menyertakan agunan. Tampak jelas ada ketakutan bank yang diberi amanah pemerintah menyalurkan KUR. Sementara rasio kredit bermasalah KUR sangat rendah. Sebagai gambaran, pada tahun lalu, rasionya hanya 0,37%. Sedang rasio kredit bermasalah perbankan secara umum mencapai 3,1%. Untuk mengatasi masalah semacam ini tidaklah sulit. Bank bisa dengan cermat mempelajari model bisnis yang diusung pelaku UMKM serta prospek mereka ke depan. Jika ini dilakukan dengan cermat, niscaya kredit macet jauh panggang dari api. Masalah lain adalah pelaku UMKM harus lama menanti penyaluran KUR, tanpa kepastian, Di sisi lain, kebutuhan modal untuk menjalankan usaha sudah mendesak.
Lalu, tidak semua pebisnis UMKM memperoleh sosialisasi secara mendetail tentang KUR. Sosialisasi memang ada di website-website pemerintah maupun perbankan. Akan tetapi, sosialisasi dengan forum-forum tatap muka, jelas akan lebih efektif. Contoh masalah penyaluran KUR masih banyak. Namun, lebih baik pemerintah maupun perbankan terus memperbaiki diri sambil mengevaluasi secara kontinu pelaksanaan program mulia ini. Semua itu tidak hanya sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi, tetapi juga pebisnis UMKM, selaku bagian dari masyarakat Indonesia.
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 6 November -12 NOvember 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Penurunan Bunga KPR" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga