Penurunan bunga saja tidak cukup



Setelah sinyal kuat penurunan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) dilempar pimpinan The Fed Jerome Powell, Rabu lalu, mata pelaku pasar dunia terarah ke Bank Indonesia (BI). Maklum,BI menjadi bank sentral negara berkembang pertama yang akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) setelah pernyataan Powell. Pasar menanti, apakah dalam RDG yang akan digelar 17-18 Juli, BI akan memangkas bunga acuan yang sejak November 2018 tak beranjak dari 6%.

Penurunan bunga acuan memang sudah lama dinantikan pelaku usaha maupun konsumen. Suku bunga yang lebih murah akan menurunkan cicilan kredit. Ini akan mendorong konsumsi dan naiknya permintaan. Lalu, produksi akan naik, dan pada gilirannya roda ekonomi pun akan bergerak lebih cepat.

Itu hasil ideal yang diharapkan dari pelonggaran moneter. Namun, kenyataan seringkali tak seindah itu. Ambil contoh, suku bunga acuan kita sempat berada di angka 4,25% untuk waktu yang cukup panjang, yakni September 2017-April 2018. Toh, pertumbuhan ekonomi tetap saja bergilir di sekitar 5%.


Suku bunga hanyalah satu faktor dalam pertumbuhan ekonomi. Ada berbagi faktor lain yang ikut menentukan. Beberapa di antaranya, kualitas sumber daya manusia, tingkat investasi, iklim usaha, efisiensi industri, perluasan pasar, teknologi, kepastian hukum, keamanan.

Agar kebijakan pelonggaran moneter bertaji dan memiliki daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi, maka berbagai faktor lain itu harus dipastikan berjalan baik. Ini masalah klasik, yang selama ini selalu saja menjadi batu sandungan.

Penurunan bunga saja tak cukup. Malah, bisa-bisa kebijakan itu lebih menguntungkan pemilik modal yang mencari rente di pasar keuangan. Penurunan suku bunga akan membuat bursa saham dan pasar obligasi bergairah. Dana-dana panas akan menyerbu pasar keuangan, bukan sektor riil. Untuk jangka pendek, ini bisa membuat rupiah menguat.

Inilah yang terjadi belakangan ini. Dana asing membanjiri pasar surat berharga negara (SBN) dan bursa saham kita. Kurs rupiah pun pekan ini menguat mendekati Rp 14.000 per dollar AS.

Namun, namanya saja dana panas. Bila ada gejolak di dalam maupun di luar negeri, dana-dana itu plus keuntungannya bisa segera kabur, meninggalkan rupiah yang terkapar. Sesungguhnya, hal semacam ini bolak balik kita alami, dan akan terus terjadi, kecuali pemerintah segera membenahi faktor-faktor non-moneter.♦

Mesti Sinaga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi