Penurunan daya beli menahan transaksi online



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Transaksi online di marketplace yang semula diprediksi bisa menggantikan aktivitas konsumsi masyarakat saat pandemi ternyata tidak seperti harapan. Ini terlihat dari rata-rata peningkatan per nilai transaksi marketplace terbesar Indonesia per bulan sepanjang tahun ini turun ketimbang tahun lalu. 

Menurut data Bank Indonesia (BI) yang diterima KONTAN  nilai transaksi 4 marketplace terbesar di periode Januari 2019 - Juli 2019, rata-rata naik Rp 1,04 triliun per bulannya. Sedangkan nilai transaksi pada periode yang sama tahun 2020, rata-rata hanya naik Rp 470 miliar.

Meskipun dengan rata-rata peningkatan nilai transaksi 14 marketplace terbesar di Indonesia. Pada periode Januari 2019-Juli 2019, rata-rata peningkatan nilai transaksi tercatat sebesar Rp 1,38 triliun per bulannya. Sementara pada Januari 2020-Juli 2020 rata-rata peningkatan nilai transaksi per bulannya hanya mencapai Rp 380 miliar.


Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Ignatius Untung melihat, penurunan rerata pertumbuhan bisa disebabkan karena perekonomian yang turun di tahun 2020 ini sehingga menekan daya beli konsumen. "Bisa jadi karena ekonomi secara keseluruhan turun jadi ada orang yang daya belinya turun. Ini harus divalidasi dengan studi," tuturnya kepada KONTAN, Kamis (27/8).

Baca Juga: Rerata pertumbuhan nilai transaksi marketplace turun di 2020, ini pendapat IdEA

Di saat pandemi ini, masyarakat  kembali ke basic survival mereka, alias lebih mengincar barang-barang primer untuk kebutuhan survival seperti makanan, vitamin, dan alat kesehatan. Sehingga, pembelian masyarakat akan kebutuhan sekunder dan tersier menurun. Padahal, selama ini justru kebutuhan sekunder dan tersier adalah barang yang merajai penjualan e-commerce.

Peneliti Institute for Development of Economics Bhima Yudhistira juga sependapat. Faktor pertama lesunya transaksi ecommerce karena  penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Apalagi ada karyawan yang terkena pemotongan gaji hingga harus terkena PHK. "Ini membuat permintaan pembelian barang secara online menurun," kata Bhima ke KONTAN, Kamis (27/8).

Baca Juga: Kemenparekraf dukung regulasi perpajakan ekonomi digital

Kedua, masyarakat lebih memilih menabung untuk berjaga-jaga mempersiapkan dana darurat kalau situasi ekonomi di semester II-2020 memburuk ketimbang memakai dana untuk konsumsi.

Gencar promosi

Faktor ketiga, ini datang dari platform belanja online sendiri. Menurut Bhima, saat ini banyak platform tak lagi segencar memberikan promo seperti tahun sebelumnya. Bahkan, ada marketplace yang memberlakukan limit atau pembatasan gratis ongkos kirim. Langkah ini diambil marketplace untuk menjaga arus kas mereka.

Senada dengan Bhima, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy melihat kalau penurunan rata-rata pertumbuhan nilai transaksi marketplace tahun ini karena daya beli masyarakat yang jauh menurun akibat Covid-19.  "Hal tersebut juga terlihat dari data indikator utama seperti penjualan ritel yang mengalami kontraksi. Di samping itu, kelas atas juga masih menahan konsumsinya," kata Yusuf.

Selain karena ada indikasi penurunan daya beli, Yusuf juga melihat bahwa  penurunan ini didorong oleh aturan penghapusan batasan nilai yang bebas pajak impor (de minimis value) yang diberlakukan oleh pemerintah. Pengenaan aturan de minimis value ini dianggap membuat beberapa golongan masyarakat menjadi tidak leluasa dalam berbelanja online.

Untuk mendongkrak transaksi penjualan online, tak ada cara lain selain meningkatkan daya beli masyarakat. Kemudian marketplace wajib meningkatkan kembali strategi penjualannya dengan emberikan promosi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon