Penurunan GWM bank syariah lebih kecil dari bank konvensional, ini penjelasan bankir



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) awal pekan ini kembali mengumumkan kebijakan pelonggaran perhitungan Giro Wajib Minimum (GWM). Singkatnya, dalam kebijakan yang akan mulai berlaku pada 1 Mei 2020 ini GWM bank umum konvensional turun sebanyak 200 basis poin (bps), sedangkan untuk bank syariah sebanyak 50 bps.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka perbankan akan mendapat likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun. Kalau dilihat dalam kebijakan ini, bank syariah mendapat pelonggaran yang relatif lebih kecil dibanding bank konvensional.

Baca Juga: BI rajin suntik likuiditas bank, apakah sudah cukup? Begini kata bankir


Menurut beberapa bankir syariah yang dihubungi Kontan.co.id, Kamis (16/4) hal tersebut dinilai wajar lantaran ciri khas dan kebutuhan bank syariah dan bank konvensional terhadap likuiditas sedikit berbeda. 

Menurut Direktur Utama PT Bank BCA Syariah John Kosasih sejatinya bank syariah memang punya likuiditas yang lebih longgar. "Selain itu, memang sejak Maret 2020, penyaluran pembiayaan turun cukup banyak terutama dari perusahaan perusahaan yang terdampak Covid-19," katanya.

Meski pelonggarannya terbilang kecil, kebijakan BI tersebut juga disambut baik dan dipastikan akan berdampak positif bagi likuiditas. Kendati tidak signifikan. "Saat ini kebutuhan pembiayaan melambat sehingga kebutuhan likuiditas pun turun paling tidak di BCA Syariah," terangnya.

Saat ini posisi rasio pendanaan alias financing to deposit BCA Syariah masih terjaga di level 90%. Secara prinsip menurut John, bank yang membutuhkan likuiditas tinggi adalah bank yang punya pembiayaan yang belum tersalurkan (plafon pembiayaan yang belum terpakai) besar. Beruntungnya, jumlah plafon pembiayaan perseroan yang belum terpakai relatif kecil.

Baca Juga: Ada pelonggaran GWM, BRI dapat tambahan likuiditas Rp 17 triliun

Di samping itu, bila ada kebutuhan likuiditas ke depan, pihaknya masih punya modal yang cukup tebal. Tercermin dari rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang masih sebesar 38%. "Kalau sebesar itu, kita punya modal Rp 2,4 triliun. Seandainya FDR meningkat sampai 100%. Kami masih punya cadangan cukup tinggi," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi