Penurunan Harga BBM Tunggu Keputusan Kabinet



JAKARTA. Pemerintah belum berani menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sementara, harga minyak dunia terus merosot dan mencapai US$ 62,14 per barel di New York, kemarin.

Dalam rapat khusus tentang harga minyak dunia di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (27/10) kemarin, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menyatakan penurunan harga BBM bersubsidi adalah keputusan kabinet.

Purnomo hanya menjanjikan akan membicarakan penurunan harga BBM bersubsidi di sidang kabinet. "Itu keputusan politik yang tidak bisa saya ambil tetapi harus keputusan kabinet. Jadi saya harus lapor kabinet, tidak bisa serta merta diputuskan oleh Menteri ESDM," kata Purnomo, Senin (27/10).


Departemen ESDM sendiri masih menganggap menurunnya harga minyak dunia belakangan ini belum bisa menjadi patokan pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi. ESDM masih menganggap harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) per akhir Oktober ini masih US$ 107,90 per barel.

Itu adalah rata-rata ICP sejak Januari hingga Oktober 2008. Alhasil, kemungkinan penurunan harga BBM bersubsidi masih tipis, karena rata-rata ICP masih jauh di atas patokan anggaran 2008, US$ 95 per barel.

Purnomo menegaskan, pemerintah masih menunggu harga minyak dunia bertahan pada US$ 40 per barel. Dengan harga sebesar itu, anggaran subsidi BBM sebesar Rp 126,82 triliun baru bisa tersisa.

Namun, anggota Komisi VII dari fraksi Partai Amanat Nasional Tjatur Sapto Edy meminta pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi tahun ini juga. "Kalau keputusannya tahun depan, itu jelas-jelas bermotif politis," katanya.

Saat ini, menurut perhitungan Tjatur, pemerintah bisa menurunkan harga premium bersubsidi antara Rp 500 sampai Rp 600 per liter. Alasannya, subsidi BBM masih memiliki cadangan sebesar Rp 18,3 triliun.

Sedangkan menurut perhitungan pemerintah, pemakaian subsidi BBM hingga akhir tahun justru akan melampaui anggaran hingga Rp 4 triliun. Sebabnya, konsumsi BBM bersubsidi melonjak tajam, terutama minyak tanah dan solar. Pemakaian minyak tanah melejit karena program konversi energi ke gas elpiji belum sepenuhnya berhasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie