JAKARTA. Bagi saham sektor komoditas, pendapatan perusahaan sangat tergantung pada sentimen harga jual produk. Sehingga seringkali volatilitas harga komoditas juga mempengaruhi kinerja secara keseluruhan. Itulah yang dialami PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Kinerja emiten ini bergantung pada harga nikel global. Sementara, ada potensi harga nikel merosot tahun ini. Biang keladinya adalah relaksasi aturan ekspor mineral mentah di Indonesia. Analis Minna Padi Investama Christian Saortua menambahkan, relaksasi aturan ekspor mineral mentah, dalam hal ini feronikel, yang bakal berlaku berpotensi mempengaruhi kinerja INCO. Pendapatan perusahaan tambang ini memang akan bertambah dengan adanya relaksasi aturan.
"Namun kemungkinan fluktuasi harga nikel bisa terjadi, karena pasar akan dibanjiri raw material dengan cepat,” kata Christian kepada KONTAN, Rabu (11/1). Ekspor nikel dari Indonesia akan memperbanyak pasokan, sehingga harga nikel bisa turun. Padahal Filipina sejak tahun lalu, mengurangi produksi yang membuat harga nikel naik. Menjaga margin Namun analis yakin, efisiensi masih dapat mendorong kinerja INCO tahun ini. Analis NH Korindo Raphon Prima bilang, INCO merupakan salah satu emiten yang konsisten mengurangi beban operasional perusahaan serta meningkatkan marjin. ”INCO konsisten menekan biaya produksi,” tulis dia dalam riset per 30 Desember 2016. Dengan mengurangi biaya, INCO bisa meningkatkan margin. Pengurangan biaya dilakukan lewat cara mengganti
high sulfur oil fuel (HSFO) dengan batubara. Alhasil, sejak 2012,
cost of goods sold (COGS) menyusut. Meski begitu, jika harga jual rata-rata nikel rendah, kinerja perseroan akan sulit tumbuh. Sebagai informasi, sejak kuartal II-2016, harga nikel mulai meningkat. Tren penguatan harga berlanjut hingga tahun ini. Harga nikel di London Metal Exchange (LME) untuk kontrak pengiriman tiga bulan sudah menguat 7,11% menjadi US$ 10.615 sejak awal tahun ini. Raphon memprediksi rata-rata harga jual (ASP) nikel INCO tahun ini bisa mencapai 81% dari harga jual nikel global, atau mencapai US$ 11.000 per metrik ton. Angka tersebut lebih tinggi dibanding tahun lalu yang hanya 73%-74% dari harga nikel global. Dia memprediksi pendapatan INCO dapat tumbuh 27,1% menjadi US$ 744 juta, dari estimasi pendapatan tahun 2016 sebesar US$ 585 juta. Sementara bottom line naik menjadi US$ 53 juta, dari estimasi tahun lalu US$ 35 juta.
Melihat faktor-faktor tersebut, Christian merekomendasikan buy saham INCO. Raphon juga merekomendasikan
buy INCO dengan target harga Rp 3.580 per saham. Tapi Analis Indo Preimer Securities Frederick Daniel memilih menurunkan rekomendasi INCO menjadi
sell dengan target Rp 2.300 per saham. Alasannya, ia mempertimbangkan suplai nikel yang berpotensi berlebih, sehingga harga jual bisa turun. Frederick menghitung Indonesia bisa memasok 600.000 ton, sedangkan Filipina hanya bisa memasok 200.000 ton. Perlu diketahui, sejak Januari 2014, rata-rata produsen nikel di Indonesia telah mengurangi 25% utilisasi produksinya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie