KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menurunkan harga tiket pesawat domestik hingga 10% selama periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025. Kebijakan ini disebut sebagai hasil kerja sama berbagai pihak, termasuk pengelola bandara dan Pertamina, dengan tujuan memastikan tiket lebih terjangkau bagi masyarakat. Namun, pengamat penerbangan Alvin Lie mengkritik langkah ini sebagai bentuk pencitraan yang tidak berdampak signifikan dan berpotensi merugikan sektor penerbangan.
Baca Juga: Harga Tiket Pesawat Turun 10% Selama Nataru, ASITA Sebut Agak Terlambat Asal tahu saja, penurunan harga tiket ini didorong oleh tiga intervensi utama di antaranya potongan airport tax sebesar 50%, diskon harga avtur 5,3%, dan penurunan
fuel surcharge hingga 8%. Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyatakan kebijakan ini memberikan penghematan rata-rata Rp157.500 per tiket, dengan estimasi total penghematan mencapai Rp472,5 miliar selama periode 16 hari. Namun, Alvin Lie menilai kebijakan ini tidak efektif dalam jangka panjang. “Ini bukan sesuatu yang alami. Penurunan harga ini hanya intervensi sementara yang berlaku selama 16 hari. Setelah itu, harga akan kembali normal,” tegasnya saat dikonfirmasi KONTAN, Rabu (27/11). Alvin menjelaskan, meskipun biaya penumpang berkurang melalui pemotongan
airport tax, maskapai mengalami penurunan pendapatan karena penghapusan
fuel surcharge. Diskon avtur yang diberikan Pertamina juga hanya memberikan dampak kecil pada pengurangan biaya operasional maskapai.
Baca Juga: Begini Dampak Penurunan Tiket Pesawat terhadap Penumpang Jelang Nataru 2025 “Kontribusi avtur pada biaya operasional maskapai mencapai 40%. Diskon 5% hanya menurunkan biaya sekitar 2%, sedangkan pendapatan maskapai turun hingga 8%. Jadi, maskapai tetap mengalami kerugian sekitar 6%,” ungkapnya. Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini tidak akan signifikan mendorong peningkatan jumlah penumpang. "Kenaikan penumpang pada periode Nataru lebih karena siklus tahunan, bukan karena harga tiket turun. Penumpang biasanya sudah merencanakan perjalanan jauh hari sebelumnya, termasuk anggaran. Penurunan harga tiket tidak serta-merta membuat orang mendadak bepergian,”jelas Alvin. Selain itu, ia mengkritik pemerintah yang tidak memperhatikan komponen lain dari biaya perjalanan. "Biaya hotel, sewa mobil, dan akomodasi lain menjelang Natal dan Tahun Baru justru naik signifikan, tetapi tidak diintervensi pemerintah. Jadi, harga tiket pesawat hanya sebagian kecil dari total biaya perjalanan,”tambahnya. Alvin juga memperingatkan potensi dampak negatif kebijakan ini terhadap keberlanjutan maskapai dan keselamatan penerbangan. “Maskapai membutuhkan pendapatan lebih di musim sibuk untuk menutupi beban operasional tambahan, seperti tenaga kerja lembur dan rute kosong. Dengan kebijakan ini, pendapatan mereka justru dipangkas. Jika terus berlanjut, kesehatan finansial maskapai bisa terganggu, yang pada akhirnya berdampak pada aspek keselamatan,” ujarnya. Ia juga mencontohkan bahwa selama 16 hari penerapan kebijakan ini, Garuda Indonesia diperkirakan kehilangan pendapatan hingga USD 3 juta. Alvin berharap pemerintah berhenti melakukan kebijakan yang bersifat populis tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
“Di mana pun di dunia, harga tiket pesawat pada musim sibuk selalu naik karena permintaan tinggi. Intervensi ini bertentangan dengan mekanisme pasar dan justru merugikan semua pihak. Saya berharap pemerintah stop berhenti main-main pencitraan dengan harga tiket pesawat," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .