Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan, Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan yield obligasi global bergerak menurun seiring dengan ekspektasi penurunan suku bunga Federal Reserve (The Fed). Namun, penurunan yield obligasi Indonesia berpotensi tertahan.

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan, hal ini tercermin dari pergerakan yield obligasi acuan tenor 10 tahun yang kembali naik ke 6,9%. Menurutnya, hal ini disebabkan tekanan pada rupiah, khususnya dari hasil data transaksi berjalan (current account).

Bank Indonesia (BI) melaporkan, terjadi defisit current account sebesar US$ 2,2 miliar atau setara dengan 0,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).


"Data tersebut menjadi hal negatif, sehingga penurunannya berpotensi terbatas," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (20/5).

Baca Juga: Investor Lirik Lagi Pasar SBN Domestik, Inflow Rp 22 Triilun di Pekan Ketiga Mei 2024

Dengan kondisi saat ini, Fikri menilai di semester I-2024, pergerakan yield obligasi tenor acuan 10 tahun Indonesia masih akan volatile. Sebab, masih ada kemungkinan yield obligasi 10 tahun Indonesia berada dalam kisaran 6,6%-6,8%.

"Namun, ini dengan catatan current account di kuartal II-2024 defisitnya lebih rendah dan trade surplus tetap terjaga positif. Jika tidak tercapai, maka yield berada di 6,8%-7%," paparnya.

Pada semester II-2024, Fikri memproyeksikan yield obligasi tenor acuan 10 tahun bisa lebih baik seiring ekspektasi penurunan Fed Rate yang lebih dekat. Saat ini, ekspektasi penurunannya di September dan satu lagi terjadi di Desember.

Sehingga, ia memperkirakan yield obligasi tenor acuan 10 tahun bisa kembali ke 6,3%-6,6%. Hanya saja, catatannya adalah adanya perubahan pemerintahan sehingga akan ada ruang fiskal yang berubah.

Ia menyebut, jika menilik pada RAPBN, asumsi makro saat ini, yield SUN di rentang 6,7%-7,3%. Dengan asumsi tersebut, Fikri menilai pemerintahan baru harus menyesuaikan defisit yang lebih terbatas.

"Lalu, jika melihat hal tersebut, kemungkinan defisit itu akan ditambal dengan suplai bond yang lebih banyak seiring dengan kemungkinan pengeluaran pemerintah yang lebih besar," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari