Penyebab Tingginya Ketergantungan Industri Alkes pada Bahan Baku Impor



KONTAN.CO.ID - BEKASI. Ketergantungan industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri pada bahan baku impor diakui oleh Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki). Meski begitu, permasalahan ketersediaan bahan baku dalam negeri juga harus dipertanyakan sebelum menuntut produsen alkes bisa menggunakan sepenuhnya bahan baku lokal. Ketua Umum Aspaki Imam Subagyo mengatakan, sepanjang tahun 2022, nilai impor bahan baku alat kesehatan di Indonesia mencapat 80%, meskipun dalam dua tahun terakhir nilai impor mengalami penurunan. "Tadi disampaikan, itu impor (alkes) yang dibeli masih diangka 80-an persen," katanya saat ditemui Kontan dalam acara Kongres Nasional 1 Hipelki di kawasan Bekasi, Kamis (29/08). Ia juga mengakui untuk mendapatkan bahan baku alkes sangat kompleks, karena jenis dan kebutuhan dari masing-masing yang berbeda.

Baca Juga: Obat dan Alkes Lebih Mahal dari Negara Tetangga, Begini Kata Apski "Sudah pasti (sulit), karena bahan baku alkes ini kan multi kompleks ya, jenisnya macam-macam. Contohnya bahan stainless stell itu yang paling banyak di Indonesia jenisnya 304 L atau 316 L, itu materialnya masih harus impor," jelasnya. Padahal menurut dia, di kawasan Morowali, Sulawesi tengah banyak produsen alumunium, namun karena nilai ke-ekonomian yang tidak cocok, perusahaan-perusahaan di sana tidak bisa memenuhi kebutuhan alumunium untuk bahan baku alkes. Untuk memecahkan masalah ini, Imam mengatakan kementerian-kementerian terkait diharapkan bisa membuat skenario kebijakan yang membuat produsen alumunium memasok kebutuhan bahan baku alkes. "Dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kesehatan kebijakannya sebaiknya ditunjuk atau dibuatkan skenario tertentu sehingga ada yang menjadi pengepul. Jadi yang di Morowali tadi jangan diekspor barang mentahnya tapi ada sebagian dikumpulkan untuk memenuhi kebutuhan alkes dalam negeri," tambahnya. Selain karena belum cocok dari segi ke-ekonomian, bahan baku dalam negeri juga banyak yang masih belum memenuhi standar medis atau medical grade. "Ada beberapa yang belum medical grade, sebagai contoh plastik, di Indonesia produsen plastik terbesar itu Chandra Asri, tapi yang diproduksi tidak semuanya bisa diserap alkes, karena gradenya beda-beda," ungkap Iman mencontohkan. Ia juga bilang sebenarnya potensi produsen untuk mengembangkan bahan baku medical grade bisa saja dilakukan namun lagi-lagi terhalang oleh nilai keekonomian. "Bisa, tapi nilai keekonomiannya kecil, makanya harus dibuat sekenarionya. Misalnya disubsidi dulu sama negara," ungkapnya. Dari sisi kementerian sebagai pemangku kebijakan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebelumnya telah melakukan business matching melalui HealthConnect: Forum Koordinasi dan Business Matching Sektor Alat Kesehatan Tahun 2024 di Jakarta, Rabu (21/8). Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan melalui business matching ini kementerian mengharapkan dapat menurunkan persetasi bahan baku impor alkes. "Iya, itu makanya kita melakukan business match supaya tidak impor lagi, bisa mengurangi impor," ungkap Febri saat ditemui Kontan di kawasan Senayan beberapa waktu lalu. Sayangnya, saat ditanya berapa target pengurangan bahan baku alkes impor ini, Febri belum bisa memberikan angka pasti. "Nanti kita hitung dulu, kita lihat hasil business matching kemarin seperti apa," katanya. Sebagai tambahan informasi, jika melansir dari data OSS, jumlah industri alat kesehatan mengalami kenaikan tajam, sampai dengan Juni 2024 telah terdaftar 1.199 industri manufaktur alat kesehatan di dalam negeri, dibandingkan di tahun 2020 yang sebanyak 150 perusahaan. Adapun, penyerapan produk Alat Kesehatan Dalam Negeri (AKD) juga terus meningkat dari 12% tahun 2019 menjadi 48% pada tahun 2024. 

Baca Juga: Harga Alat Kesehatan Mahal, Aspaki Minta Insentif ke Pemerintah


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati