Penyebaran virus corona merata, mengapa rupiah justru paling babak belur?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah menjadi mata uang paling babak belur di hadapan mata uang dunia di tengah ancaman wabah virus corona. Padahal beberapa negara seperti Jepang, Singapura, hingga Australia justru sudah terpapar virus corona. Namun tetap saja mata uang garuda tetap tak berdaya di hadapan mata uang negara tersebut. Merujuk Bloomberg, berikut kurs rupiah terhadap sejumlah mata uang pada penutupan perdagangan Jumat (28/2).

EUR/IDR: Rp 15.814,01 per euro. Rupiah melemah 2,96% SGD/IDR: Rp 10.286,78 per dolar Singapura. Rupiah melemah 2,16% AUD/IDR: Rp 9.368,06 per dolar Australia. Rupiah melemah 1,52% CNY/IDR: Rp 2.052,09 per yuan. Rupiah melemah 2,01% JPY/IDR: Rp 132,01 per yen Jepang. Rupiah melemah 3,51%

Baca Juga: Melihat keampuhan jurus BI menjaga pasar keuangan dari dampak virus corona


Di kawasan Asia, rupiah pun mencatat kinerja terburuk dalam sepekan terakhir. Berikut pergerakan mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam sepekan terakhir menurut data Bloomberg:

Mata uang Kurs/dolar AS % sepekan
Yen 107,89 3,33%
Ringgit  4,125 1,59%
Yuan 6,992 0,51%
Dolar Taiwan 30,287 0,37%
Dolar Singapura 1,3932 0,33%
Baht 31,522 0,16%
Dolar Hong Kong 7,7935 -0,08%
Peso 50,978 -0,17%
Won 1.214,73 -0,46%
Rupee 72,175 -0,72%
Rupiah 14.318 -4,06%
Analis Monex Investindo Futures Faisyal melihat babak belurnya rupiah tak terlepas dari beberapa faktor. Dari dalam negeri, ia melihat defisit transaksi berjalan (CAD) yang belum ada perbaikan dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang stagnan menjadi penyebab. Kemudian, dia juga menyinggung langkah Bank Indonesia (BI) yang dinilai telat.

“Saya melihat BI agak telat dan kurang mengantisipasi dengan perkembangan saat ini. Seharusnya sewaktu BI memangkas suku bunga acuan kemarin bisa lebih agresif dan lebih dari 25 basis poin,” terang Faisyal kepada Kontan.co.id.

Menurutnya, pemangkasan suku bunga yang lebih agresif bisa membantu menjaga kepercayaan investor di tengah situasi yang penuh ketidakpastian saat ini. Mulai dari wabah virus corona hingga ancaman perlambatan ekonomi dunia.

Baca Juga: Rupiah jatuh ke titik terlemah, outlook ekspor masih tersendat

Sementara ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri melihat tak berdayanya rupiah terhadap mata uang dunia lebih cenderung karena perpaduan faktor teknikal dan fundamental.

“Rupiah dibanding mata uang lain itu penguatannya adalah yang paling tajam, awal tahun sempat di level Rp 13.600 kan. Jadi dari teknikal itu karena profit taking, ditambah lagi belakangan dana asing tengah keluar dari market,” tutur Reny.

Reny masih cukup optimistis dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang dilihatnya masih cukup baik. Terlihat dari pertumbuhan yang masih di kisaran 5% ketika negara lain kesulitan mencapai angka tersebut. Dari cadangan devisa yang masih sekitar US$ 130 miliar dan inflasi di kisaran 2%-4% dianggap cukup kuat dan stabil.

Ditambah lagi peringkat utang Indonesia mendapatkan rating positif dari lembaga pemeringkat internasional. “Jadi bisa dibilang fundamental ekonomi kita sejauh ini sebenarnya masih aman. Hanya saja, tekanan eksternal memang sangat kuat dan sulit dikontrol,” tegas Reny.

Baca Juga: Prediksi Kurs Rupiah: Masih Akan Melemah di Pekan Depan Meski Ada Sedikit Penahan

Selain itu, pergerakan rupiah yang rentan terhadap sentimen menjadi faktor utama. Reny mengatakan, ketika sentimen tengah kuat, investor akan segera meninggalkan emerging market dan memilih aset safe haven.

“Perpaduan berbagai faktor inilah yang pada akhirnya membuat volatilitas rupiah cukup tinggi dalam beberapa pekan terakhir. Bahkan sepertinya masih akan tetap tinggi pada pekan depan,” pungkas Reny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati