Penyedia pusat data tak setuju revisi beleid penyelenggaraan transaksi elektronik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penyedia Data Center Indonesia (Indonesia Data Center Provider Organization/IDPRO) tak sepakat rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merevisi Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Revisi PP PSTE itu saat ini sedang dalam tahap finalisasi. Salah satu poin revisinya soal penempatan data dan pusat pemulihan bencana yang menurut aturan saat ini wajib ditempatkan di Indonesia, nanti tidak lagi. Hanya data yang dikategorikan sebagai data strategis tingkat tinggi yang wajib ditempatkan di Indonesia.

Data yang termasuk kategori ini adalah data dari badan intel, ketahanan pangan, maupun keamanan. Data nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK) pengguna pun masuk dalam kategori data ini. Data strategis tingkat tinggi tak boleh terhubung dengan internet, tapi hanya boleh terhubung secara intranet.


Sementara untuk data strategis menengah memperbolehkan adanya outsourcing untuk data ini. Alasannya, ada beberapa data strategis yang perlu diketahui publik.

Atas alasan keberlangsungan industri pusat data, IDPRO tak setuju jika peraturan itu direvisi. “PP Nomor 82 tahun 2012 bagi kami sudah sangat baik, jangan direvisi,” kata Sekretaris Jendral IDPRO Teddy Sukardi, Kamis (18/10).

Teddy menyebut sejak diberlakukannya PP Nomor 82 tahun 2012, industri data center di Indonesia tumbuh positif. Diberlakukannya revisi beleid tersebut berpotensi menghilangkan pasar para pelaku industri data center.

Jika misalnya beberapa perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia selama ini menempatkan pusat datanya di sini, kini perusahaan-perusahaan itu bisa mempertimbangkan memindahkan pusat data ke negara lain. “Bisa saja ke negara asal mereka,” tambahnya.

Padahal bisnis data center merupakan bisnis dengan perencanaan yang matang. Perusahaan tidak serta merta berinvestasi infrastruktur pusat data hanya ketika ada permintaan. Tapi investasi data itu jauh dilakukan sebelum adanya permintaan.

Pada saatnya pelaku bisnis data center menerima calon klien, infrastruktur data center mesti sudah siap dan tinggal pakai. Karenanya, tidak heran jika IDPRO khawatir pada dampak negatif bisnis industri pusat data akabat revisi beleid PP PTSE itu. “Padahal para pelaku sudah melakukan investasi besar hingga puluhan juta dolar,” tambahnya.

Sekedar gambaran, menurut Teddy, industri pusat data di Indonesia belum sepenuhnya matang. Soal tenaga kerja saja, kadang antar anggota IDPRO masih saling 'berebut' satu sama lain.

Sebab itu, industri pusat data masih butuh waktu agar antar pemain bisnis bisa bersaing sehat agar harganya kompetitif. Dalam kondisi industri yang belum matang, IDPRO khawatir calon klien justru beralih ke negara lain. Toh, pemerintah Indonesia tidak mewajibkan untuk menyimpan data di Indonesia.

Adapun industri pusat data banyak mendapatkan klien dari industri perbankan, asuransi, transportasi, fintech, dan e-commerce.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat