JAKARTA. Pemerintah akan memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Biaya penyelesaian sengketa dengan mekanisme sekarang ini terlalu mahal dan memberatkan.Saat ini, setiap sengketa pilkada harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, di Jakarta. Cara tersebut tidak efisien dan pemborosan dana bagi para pihak. "Bayangkan dari Papua, Maluku Utara, Aceh, bawa barang bukti berapa truk, berapa cost-nya, kenapa tidak diselesaikan di daerah?" ujar Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri di Istana Wakil Presiden, kemarin (5/7). Menurut Gamawan, ada dua cara penyelesaian sengketa pilkada yang bisa menghemat biaya. Pertama, Mahkamah Konstitusi bersidang di daerah. Kedua, menyerahkan penyelesaian sengketa pilkada kepada Pengadilan Tinggi. Cara ini sudah pernah diterapkan sebelum ditangani Mahkamah Konstitusi.Pemerintah akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa pilkada baru itu dengan DPR melalui revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. "Drafnya sudah ada, tinggal memasukkan dalam agenda sidang," terang mantan Gubernur Sumatera Barat itu.Selain penyelesaian sengketa pilkada, pemerintah juga akan membatasi pengumpulan massa dan pemasangan poster maupun spanduk melalui revisi UU itu. Gamawan bilang, cara berkampanye seperti itu diganti dengan dialog dengan masyarakat maupun mengadu program lewat media cetak maupun elektronik.Sebelumnya, Gamawan mengungkapkan, dana sekitar Rp 3,54 triliun mengucur dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai pilkada tahun ini. Itu berarti, rata-rata per daerah menghabiskan Rp 15 miliar untuk memilih kepala daerah. Apabila ditambah biaya dari kocek pribadi para pasangan calon kepala daerah yang diperkirakan total juga mencapai Rp 15 miliar, maka biaya yang dikeluarkan untuk pilkada di masing-masing daerah sekitar Rp 30 miliar.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penyelesaian Sengketa Pilkada Diubah
JAKARTA. Pemerintah akan memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Biaya penyelesaian sengketa dengan mekanisme sekarang ini terlalu mahal dan memberatkan.Saat ini, setiap sengketa pilkada harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, di Jakarta. Cara tersebut tidak efisien dan pemborosan dana bagi para pihak. "Bayangkan dari Papua, Maluku Utara, Aceh, bawa barang bukti berapa truk, berapa cost-nya, kenapa tidak diselesaikan di daerah?" ujar Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri di Istana Wakil Presiden, kemarin (5/7). Menurut Gamawan, ada dua cara penyelesaian sengketa pilkada yang bisa menghemat biaya. Pertama, Mahkamah Konstitusi bersidang di daerah. Kedua, menyerahkan penyelesaian sengketa pilkada kepada Pengadilan Tinggi. Cara ini sudah pernah diterapkan sebelum ditangani Mahkamah Konstitusi.Pemerintah akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa pilkada baru itu dengan DPR melalui revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. "Drafnya sudah ada, tinggal memasukkan dalam agenda sidang," terang mantan Gubernur Sumatera Barat itu.Selain penyelesaian sengketa pilkada, pemerintah juga akan membatasi pengumpulan massa dan pemasangan poster maupun spanduk melalui revisi UU itu. Gamawan bilang, cara berkampanye seperti itu diganti dengan dialog dengan masyarakat maupun mengadu program lewat media cetak maupun elektronik.Sebelumnya, Gamawan mengungkapkan, dana sekitar Rp 3,54 triliun mengucur dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai pilkada tahun ini. Itu berarti, rata-rata per daerah menghabiskan Rp 15 miliar untuk memilih kepala daerah. Apabila ditambah biaya dari kocek pribadi para pasangan calon kepala daerah yang diperkirakan total juga mencapai Rp 15 miliar, maka biaya yang dikeluarkan untuk pilkada di masing-masing daerah sekitar Rp 30 miliar.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News