Penyerapan biodiesel masih seret



JAKARTA. Pengusaha biodiesel tanah air tengah dilanda kekhawatiran, menyusul jebloknya hasil penjualan sepanjang semester I-2015 ini. Meski pemerintah sudah menelurkan kebijakan pungutan ekspor minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) Fund dan menelurkan kebijakan wajib pencampuran 15% biodiesel dalam bahan bakar solar (B-15), tapi hingga saat ini dua kebijakan ini belum juga efektif bergulir.

Berdasarkan data Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), penjualan biodiesel dalam negeri selama semester I-2015 hanya 159.200 ton dari target seharusnya 435.600 ton. Harapan pengusaha biodiesel untuk mengandalkan pasar ekspor juga tak berbuah hasil. Pada semester lalu, ekspor biodiesel hanya sebanyak 105.200 ton dari target awal semester lalu yang mencapai 953.200 ton.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI menyatakan, ekspor biodiesel anjlok karena pasar ekspor lesu, ditambah dengan kenyataan bahwa produk biodiesel Indonesia kalah bersaing dari sisi harga dengan biodiesel dari negara lain. "Rencana pengenaan pungutan sebesar US$ 20 per ton untuk ekspor biodiesel bakal makin menyulitkan pengusaha biodiesel," ujar Sahat kepada KONTAN, Senin (6/7) lalu.


Rencana pemerintah memungut pajak ekspor berupa CPO Fund dari ekspor biodiesel ini tak lepas dari upaya pembatasan ekspor agar pasokan biodiesel bisa diserap di pasar dalam negeri.

Namun, Sahat menyayangkan kebijakan mandatori B-15 yang semula direncanakan berjalan April justru terus mundur. Bahkan, hingga lewat paruh tahun ini, kebijaka itu juga belum berlaku.

Alhasil, molornya pemberlakuan mandatori B-15 juga berdampak pada kerjasama pengusaha biodiesel dengan PT Pertamina, sebagai pihak yang menyerap biodiesel tersebut. Sahat menyebut, sejak bulan Maret 2015, Pertamina tak lagi membeli biodiesel karena belum ada kesesuaian harga. Hal itu  berakibat pada rendahnya penyerapan produksi biodiesel.

Berhenti produksi

Akibatnya, sebanyak 15 pabrik pengolahan kelapa sawit berhenti memproduksi biodiesel sejak akhir bulan lalu. Pabrik tersebut tersebar di pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

Efek domino dari rendahnya penyerapan biodiesel dan pabrik biodiesel yang menghentikan produksi bakal segera terasa. Sahat menyatakan, pasokan CPO bakal mengalami kelebihan pasokan atau over supply. "Kalau stok CPO berlebih, perusahaan tidak akan membeli tandan buah segar (TBS) lagi dari petani," ujar Sahat.

Bambang Suyitno, Investor Relation PT Eterindo Wahanatama Tbk, salah satu produsen biodiesel, menyatakan akan merevisi target yang ditetapkan perusahaan sebelumnya karena peraturan pemerintah yang berubah.

Sebagai catatan, Eterindo mencatatkan produksi biodiesel sebanyak 63.500 ton sepanjang tahun lalu.

Sebelumnya, Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menilai, posisi pengusaha biodiesel berada pada posisi sulit jika pemerintah tak konsisten melaksanakan kebijakan yang sudah dijanjikan sebelumnya.

Menurutnya, meskipun biodiesel dijanjikan insentif berupa subsidi harga dari pemerintah, tapi pada kenyataannyapemerintah lamban menerapkan mandatori B-15. Bahkan, pemerintah bakal mengenakan pungutan ekspor biodiesel, selain CPO Fund.

Menurut Paulus, kapasitas terpasang yang dimiliki pengusaha biodiesel saat ini yang sebanyak 5,5 juta ton masih sangat mungkin bertambah dengan hadirnya pemain baru jika pemerintah serius menjalankan kebijakan yang sudah digulirkan sebelumnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto