JAKARTA. Meski pupuk organik disinyalir bisa meningkatkan kualitas produksi pertanian, namun hingga saat ini penggunaan pupuk organik di tingkat petani masih sangat rendah. Ini disebabkan karena harga pupuk organik masih tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh petani. Karenanya, para produsen meminta pemerintah untuk menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk.Ketua Umum Asosiasi Pupuk Petroganik Indonesia (AP2I) Ardianto Wiyono mengatakan, pada 2010 lalu pemerintah mengalokasikan pupuk organik untuk subsidi dan bantuan langsung pupuk (BLP) sekitar 650.000 ton. "Tapi dari jumlah itu, penjualan pupuk organik kami hanya 211.000 ton. “Sedangkan untuk pupuk organik dengan skema BLP hanya 319.000 ton," ujarnya seusai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI Kamis (17/2).Padahal, saat ini sudah ada sekitar 180 produsen pupuk petroganik yang tergabung dalam AP2I yang siap memasok pupuk organik. Total kapasitas produksi dari produsen pupuk organik anggota AP2I ini sebesar 2 juta ton. "Akibat penyerapan rendah, tahun ini kami tidak berproduksi dan hanya mengandalkan stok tahun lalu," ujar Ardianto.Berdasarkan data AP2I, penjualan pupuk petroganik AP2I sejak tahun 2008 hingga saat ini tidak banyak mengalami perkembangan. Pada 2008, saat program pupuk organik diluncurkan, produksi pupuk petroganik sebesar 87.516 ton, dan hanya terserap 69.258 ton. Pada 2009, produksi pupuk petroganik sebesar 323.507 ton, dan hanya terserap 231.764 ton. "Tahun 2010 penyerapan pupuk petroganik menurun menjadi 211.000 ton. Padahal produksinya mencapai 307.986 ton," kata Ardianto. Asal tahu saja, saat ini HET untuk pupuk organik sebesar Rp 700 per kg. Meski harga ini sudah termasuk subsidi, tapi daya beli petani yang masih cukup rendah membuat petani masih lebih memilih pupuk kimia. "Kita minta pemerintah menurunkan HET pupuk organik menjadi RP 250 per kg," Ardianto.Selain masalah harga, ia mengatakan adanya dualisme mekanisme penyaluran pupuk organik bersubsidi ini membuat penyerapan pupuk tidak optimal. Ardianto bilang, saat ini ada dua mekanisme yaitu subsidi dan BLP. Penyaluran pupuk organik bersubsidi dilakukan oleh AP2I, sementara penyaluran pupuk organik BLP dilakukan oleh Asosiasi Produsen Pupuk Organik dan Hayati Indonesia (APPOHI). Tahun ini, pemerintah mengalokasikan subsidi pupuk organik sekitar 900.000 ton. "Kalau HET diturunkan, saya yakin target alokasi pupuk organik bersubsidi ini bisa terserap oleh petani. Sebab, jika harga turun, minat masyarakat untuk membeli semakin tinggi" ungkapnya. Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia Zaenal Sudjaiz mengungkapkan, petani di Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi pada pupuk kimia. Selain itu, "Sosialisasi pupuk organik masih belum cukup. Promosi dari pemerintah juga masih sangat kecil," ujarnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penyerapan pupuk organik rendah, podusen minta HTE diturunkan
JAKARTA. Meski pupuk organik disinyalir bisa meningkatkan kualitas produksi pertanian, namun hingga saat ini penggunaan pupuk organik di tingkat petani masih sangat rendah. Ini disebabkan karena harga pupuk organik masih tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh petani. Karenanya, para produsen meminta pemerintah untuk menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk.Ketua Umum Asosiasi Pupuk Petroganik Indonesia (AP2I) Ardianto Wiyono mengatakan, pada 2010 lalu pemerintah mengalokasikan pupuk organik untuk subsidi dan bantuan langsung pupuk (BLP) sekitar 650.000 ton. "Tapi dari jumlah itu, penjualan pupuk organik kami hanya 211.000 ton. “Sedangkan untuk pupuk organik dengan skema BLP hanya 319.000 ton," ujarnya seusai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI Kamis (17/2).Padahal, saat ini sudah ada sekitar 180 produsen pupuk petroganik yang tergabung dalam AP2I yang siap memasok pupuk organik. Total kapasitas produksi dari produsen pupuk organik anggota AP2I ini sebesar 2 juta ton. "Akibat penyerapan rendah, tahun ini kami tidak berproduksi dan hanya mengandalkan stok tahun lalu," ujar Ardianto.Berdasarkan data AP2I, penjualan pupuk petroganik AP2I sejak tahun 2008 hingga saat ini tidak banyak mengalami perkembangan. Pada 2008, saat program pupuk organik diluncurkan, produksi pupuk petroganik sebesar 87.516 ton, dan hanya terserap 69.258 ton. Pada 2009, produksi pupuk petroganik sebesar 323.507 ton, dan hanya terserap 231.764 ton. "Tahun 2010 penyerapan pupuk petroganik menurun menjadi 211.000 ton. Padahal produksinya mencapai 307.986 ton," kata Ardianto. Asal tahu saja, saat ini HET untuk pupuk organik sebesar Rp 700 per kg. Meski harga ini sudah termasuk subsidi, tapi daya beli petani yang masih cukup rendah membuat petani masih lebih memilih pupuk kimia. "Kita minta pemerintah menurunkan HET pupuk organik menjadi RP 250 per kg," Ardianto.Selain masalah harga, ia mengatakan adanya dualisme mekanisme penyaluran pupuk organik bersubsidi ini membuat penyerapan pupuk tidak optimal. Ardianto bilang, saat ini ada dua mekanisme yaitu subsidi dan BLP. Penyaluran pupuk organik bersubsidi dilakukan oleh AP2I, sementara penyaluran pupuk organik BLP dilakukan oleh Asosiasi Produsen Pupuk Organik dan Hayati Indonesia (APPOHI). Tahun ini, pemerintah mengalokasikan subsidi pupuk organik sekitar 900.000 ton. "Kalau HET diturunkan, saya yakin target alokasi pupuk organik bersubsidi ini bisa terserap oleh petani. Sebab, jika harga turun, minat masyarakat untuk membeli semakin tinggi" ungkapnya. Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia Zaenal Sudjaiz mengungkapkan, petani di Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi pada pupuk kimia. Selain itu, "Sosialisasi pupuk organik masih belum cukup. Promosi dari pemerintah juga masih sangat kecil," ujarnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News