Penyewaan pembangkit PLN perlu payung hukum



JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menyewakan kembali (lease back) 35 pembangkit listrik ke kontraktor asal China sepertinya masih belum bisa direalisasikan. Pasalnya, hingga kini belum ada payung hukum yang menjadi dasar hukum pelaksanaannya.

Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir menjelaskan ketiadaan dasar hukum aksi korporasi PLN berupa lease back sehingga kini rencana tersebut belum bisa dilakukan. "Kesulitannya karena ini praktek pertama. Mekanismenya belum diatur, makanya saat ini kami sedang mencari cara agar memiliki payung hukum," ujarnya, pekan lalu.

Agar masalah payung hukum yang mengganjal rencana sewa pembangkit listrik ini bisa cepat teratasi, pemerintah kini telah meminta pandangan hukum atawa legal opini dari Kejaksaan Agung yang isinya menyatakan bahwa lease back ini sah dan aman secara hukum.


Adanya legal opinion ini, kata Sofyan bertujuan agar semua jelas dan tidak membawa masalah di belakang hari. Sofyan berharap Kejaksaan Agung segera menyerahkan pandangan hukum yang diminta ini. "Mudah-mudahan bulan depan sudah selesai," ungkap Sofyan.

Sekadar catatan, pemerintah berencana menyewakan kembali 35 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 10.000 megawatt (MW) yang masuk dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, energi terbarukan, dan gas (fast track programme) tahap I.

Alasannya, kualitas pembangkit listrik buatan China ini tak sesuai harapan. Salah satunya lantaran kapasitas produksi pembangkit listrik ini masih rendah, yakni hanya mencapai 30%- 50% meski pembangunannya sudah 90% rampung. Kapasitas produksi pembangkit listrik ini jauh lebih rendah ketimbang pembangkit listrik buatan Jerman, Perancis dan Amerika Serikat dengan kapasitas yang  mampu berproduksi sekitar 75% - 80% dari kapasitasnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bilang pemerintah telah menunjuk tiga perusahaan milik pemerintah China untuk menyewa kembali pembangkit listrik ini. Menurut Sudirman, sebenarnya ada lima perusahaan milik pemerintah China yang potensial menyewa kembali pembangkit listrik ini, tapi PLN hanya memilih tiga perusahaan saja.

Sudirman bilang, selain untuk meminta tanggung jawab kontraktor China asal hasil kerjanya yang tak beres, alasan pemerintah menyewakan kembali pembangkit listrik ini untuk mengurangi beban perawatan. Selain itu, dengan menyewakan pembangkit, pemerintah juga bisa meraup pendapatan sewa. Sayangnya, Sudirman tak mau merinci identitas perusahaan penyewa pembangkit listrik ini. Yang pasti, "Selain menyewa kembali, perusahaan China ini akan memperbaikinya," katanya, beberapa waktu lalu.

Tapi, Sudirman bilang dalam perjanjian sewa pembangkit ini, ada ketentuan yang menyatakan bahwa pemerintah bisa mengambil alih lagi pengelolaan pembangkit listrik atau menghentikan sewanya bila perusahaan penyewa telah berhasil memperbaiki dan meningkatkan kapasitas produksi pembangkit listrik hingga mencapai 60% - 65%.

Meski disewakan lagi ke kontraktor China, pemerintah tetap berkomitmen membeli listrik hasil produksi PLTU yang disewakan tersebut. Namun belum disepakati harga pembelian PLN.

Untuk menentukan tarif sewa pembangkit dan harga pembelian listrik oleh PLN, pemerintah dan China akan ditentukan oleh tim khusus di bawah pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim ini akan bekerja hingga September 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie