JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan dana otonomi khusus (otsus) Papua tahun 2002-2010 mencapai Rp 4,3 triliun. Auditor negara menduga ada tindak pidana korupsi.Sebelumnya, DPR mengalokasikan dana otonomi khusus sebesar Rp 28,8 triliun untuk periode 2002-2010. Dana ini untuk peningkatan pendidikan dan kesehatan. Namun, BPK hanya mengaudit penggunaan dana sebesar Rp 19 triliun saja. "Jumlah itu, kami haqul yakin mengarah pada kerugian negara," kata Penanggung Jawab Audit Wilayah Timur BPK Rizal Jamal, Kamis (21/4).Penyimpangan itu antara lain karena adanya dana yang didepositokan, dana untuk aktivitas fiktif seperti aktivitas detail engineering design (DED) PLTA Sungai Unumuka tahap ketiga dan kelebihan pembayaran kegiatan yang tidak sesuai ketentuan.Padahal seharusnya, dana itu digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Sesuai Undang-Unndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dana itu seharusnya tidak dialokasikan dalam bentuk deposito. "Boleh deposito, tapi harus ada laporan di anggaran (APBD)," ujar Rizal.Atas temuan tersebut, BPK mengusulkan, alokasi dana otsus diserahkan langsung pada kabupaten/kota tanpa harus melalui pemerintah provinsi. Indikasi itu dapat ditindaklanjuti dengan pelaporan pada Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kalau diminta forensik, kami siap," tambahnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penyimpangan dana otonomi khusus Papua Rp 4,3 triliun
JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan dana otonomi khusus (otsus) Papua tahun 2002-2010 mencapai Rp 4,3 triliun. Auditor negara menduga ada tindak pidana korupsi.Sebelumnya, DPR mengalokasikan dana otonomi khusus sebesar Rp 28,8 triliun untuk periode 2002-2010. Dana ini untuk peningkatan pendidikan dan kesehatan. Namun, BPK hanya mengaudit penggunaan dana sebesar Rp 19 triliun saja. "Jumlah itu, kami haqul yakin mengarah pada kerugian negara," kata Penanggung Jawab Audit Wilayah Timur BPK Rizal Jamal, Kamis (21/4).Penyimpangan itu antara lain karena adanya dana yang didepositokan, dana untuk aktivitas fiktif seperti aktivitas detail engineering design (DED) PLTA Sungai Unumuka tahap ketiga dan kelebihan pembayaran kegiatan yang tidak sesuai ketentuan.Padahal seharusnya, dana itu digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Sesuai Undang-Unndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dana itu seharusnya tidak dialokasikan dalam bentuk deposito. "Boleh deposito, tapi harus ada laporan di anggaran (APBD)," ujar Rizal.Atas temuan tersebut, BPK mengusulkan, alokasi dana otsus diserahkan langsung pada kabupaten/kota tanpa harus melalui pemerintah provinsi. Indikasi itu dapat ditindaklanjuti dengan pelaporan pada Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kalau diminta forensik, kami siap," tambahnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News