KONTAN.CO.ID - BEO. Bumi Porodisa sebagai daratan terluar Nusantara diberkahi tanaman yang bisa menghasilkan salah satu serat nomor wahid di dunia. Nama pohon itu ialah pisang abaka. Pohonnya tumbuh liar di pulau Karakelang, Kepulauan Talaud. Namun sayang, melimpahnya pisang abaka di sini jadi tidak berarti karena minimnya usaha lebih dari pemerintah untuk mendukung para perajin. Pasalnya, bukan hanya alat tenun yang mereka butuhkan, melainkan akses internet yang memadai sebagai kunci pembuka rezeki. Untuk apa mengolah serat jika tidak ada pasar untuk menjualnya. Asal tahu saja, permintaan serat abaka bukan hanya datang dari dalam negeri saja, tetapi juga dari mancanegara seperti Amerika Serikat, Jepang, Filipina, hingga Eropa. Serat abaka biasa digunakan untuk bahan baku
pulp kertas berkualitas tinggi karena lebih tahan sobek. Makanya dipakai untuk bahan baku uang di sejumlah negara.
Dalam penelitian yang dilakukan Universitas Sam Ratulangi pada tahun 2022, potensi pasar internasional serat abaka sebesar 600.000 ton per tahun. Adapun Filipina sebagai produsen utama dengan pasokan 80.000 ton dan diikuti Ekuador sebesar 10.000 ton. Artinya masih ada 510.000 ton yang belum terpenuhi. Maka itu potensi permintaan pasar di Indonesia sangat besar.
Baca Juga: Mencari Rezeki Sedari Pagi di Dermaga Pelabuhan Melonguane Kebutuhan serat pisang abaka dalam negeri juga cukup besar yakni 12 ton per bulan sedangkan kebutuhan luar negeri untuk Jepang sebanyak 60 ton tiap bulannya. Pada 2012 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud sudah menggagas pengembangan perkebunan pisang abaka seluas 5.000 hektar dengan produktivitas serat abaka 2 ton per hektar dan diharapkan dapat mencapai produksi serat sebesar 20.000 ton per tahun. Harapannya di kala itu, Talaud bisa memasok kebutuhan serat nasional hingga mancanegara. Sayangnya, hingga lebih dari satu dekade, gagasan itu belum terealisasi. Entah karena permasalahan apa, hingga hari ini kebutuhan serat abaka dalam negeri masih dipenuhi impor. Lurah Makatara, Johan Suru menyatakan pisang abaka menjadi satu komoditas utama di Pulau Karakelang bagian utara terutama di kecamatan Beo dan Essang. “Hanya saja pemanfaatannya belum baik karena minimnya alat sehingga produksi serat abaka tidak maksimal, otomatis daya tawar ke pembeli menjadi kurang,” ceritanya kepada KONTAN di Desa Makatara, Jumat (30/8/2024). Perajin pun sulit menjual serat dengan harga yang lebih tinggi karena tidak bisa memenuhi volume permintaan dari calon pelanggan. Saat ini harga serat dijual Rp 24.000 hingga Rp 26.000 per kilogram. Jika bisa dikerek hingga Rp 40.000 per kilogram serat, Johan yakin masyarakat berani berinvestasi membeli mesin serut sendiri yang harganya Rp 6 juta per unit. Di tengah berbagai tantangan itu, masih ada beberapa masyarakat di Desa Makatara yang gigih mengelola harta karun yang melimpah di kampung halamannya. Mereka tergabung dalam Kelompok Masyarakat (Pokmas) Rintulu Maleonan. Ketua Pokmas Rintulu Maleonan, Adranius Salmon Ontoge bercerita, dirinya sedih dan kecewa karena semakin hari jumlah anggota kelompok yang aktif terus berkurang, dari sebelumnya ada 27 orang kini tersisa 6 orang. Alasan belasan orang lain tidak aktif, tidak jauh-jauh dari sisi kesejahteraan. Mengelola serat abaka dinilai belum cukup menguntungkan bagi mereka. “Jujur saya berkerinduan pekerjaan ini berkembang agar membuka lapangan kerja. Dari sisi ekonomi tidak mendukung sehingga alat yang ada tidak bisa dijalankan. Semangat anggota kelompok juga lesu. Kalau ada modal usaha para anggota bisa dibayar per bulan supaya lebih giat lagi,” ceritanya di lokasi yang sama. Adrianus bercerita, Desa Makatara sempat mendapat bantuan dari sejumlah pihak beberapa tahun silam. Misalnya pada 2016, pihaknya diberikan satu alat tenun karpet, lalu pada 2018 ada juga yang menyerahkan mesin serat, dan Pemerintah Daerah (Pemda) juga membantu membuat bangunan sebagai bengkel produksi. Meski sudah diberikan fasilitas, tetap saja pihak Pokmas tidak bisa memenuhi permintaan yang ada. Sebelumnya sempat masuk permintaan sebanyak 6 ton sampai 9 ton serat abaka dengan tenggat waktu tiga bulan. Namun menimbang mesin yang ada, maksimal mereka hanya bisa memproduksi 2 ton serat dalam tiga bulan.
Baca Juga: Kini Siswa SMPN 1 Melonguane Timur Tak Harus Cari Sinyal ke Pantai Lagi Akhirnya, peluang itu ditolaknya. Sehingga saat ini produk yang dibuat dari serat abaka baru sebatas diolah menjadi alat kerajinan seperti tas, dompet, dan lampion. Adrianus tetap mencoba cari peluang lain. Demi mengembangkan dan mengenalkan serat abaka Talaud ke luar, dia sempat mengikuti program BRILianpreneur. Dari ratusan UMKM yang tersebar di seluruh Indonesia, produknya lolos menjadi salah satu yang terbaik. Benar saja, tidak lama berselang Adrianus dikabari oleh pihak BRI bahwa ada calon pelanggan yang tertarik membeli serat abaka dari Desa Makatara. Namun sayang sekali, peluang itu akhirnya kandas karena keterbatasan jaringan internet di desanya. Ceritanya begini, calon pelanggan yang berasal dari luar negeri menghubungi Adrianus melalui pesan WhatsApp. Namun karena di tempatnya tidak didukung sinyal yang mumpuni, notifikasi WA itu baru dia lihat beberapa minggu kemudian. “Ternyata mereka dua kali WA saya. Investornya dari Amerika,” ungkapnya.
Kesedihan itu terpancar dari wajah Adrianus ketika bercerita kalau sejatinya banyak pihak yang mau memesan lewat
online, tetapi fasilitas komunikasi yang dimilikinya masih kurang baik. “Saya memang pakai HP murah dan jaringan internet juga susah. Harus ke pantai dulu untuk dapat sinyal,” tandasnya. Johan Suru berharap pemerintah segera membangun BTS di wilayahnya karena lahan hibah untuk membangun menara tersebut sudah dipersiapkan. Menurutnya, akses internet sangat dibutuhkan untuk menunjang bisnis perajin serat abaka di desanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi